Satu jam sebelum hari berganti, mampir ke Rins Bakery bersama Arga menyisakan senyum sampai aku kembali rumah. Bagaimana tidak, Arga sangat menyenangkan. Dia benar-benar berbeda dengan lelaki berkacamata yang sangat pendiam dengan setumpuk buku-buku tebal yang ada diingatanku. Arganara yang kukenal sangat canggung dalam memulai pembicaraan, dia bahkan tidak bisa bersikap dengan benar ketika bersama sekumpulan orang. Dia pintar, tetapi sosialisasinya payah.
Kami kuliah di fakultas yang berbeda, tetapi entah otak Arga terbuat dari apa, sering kali dia bisa membantuku memecahkan soal-soalku. Awalnya aku sanksi mana ada anak kedokteran bisa bantu masalahku. Nyatanya, jawabanku dipuji-puji dosen. Arga memang luar biasa, meski tidak mengasyikan sama sekali. Hanya butuh beberapa tahun, lelaki itu seperti mengalami perjalanan yang sangat panjang. Dia berubah total.
Seakan tubuhku dibanjiri aliran adrenalin membayangkan hal yang tidak-tidak saat bersamanya. Kayak ketika melihat bibirnya yang berwarna cerah, aku bisa merasakan bagaimana bibir yang terlihat penuh itu menyatu dengan bibirku. Kemudian sapuan lembut akan berubah menjadi lebih dalam menaikkan hasrat, dan ....
Aku mendesah ketika melihat rumah. Moodku jungkir balik setiap kali pulang. Bagaimana tidak, sebelumnya kami menghuni rumah mewah empat lantai dengan fasilitas yang dilengkapi teknologi mumpuni, smart home. Pintu gerbang akan terbuka otomatis ketika mobil yang terverifikasi sebagai mobil keluarga ada di depan pintu, sekarang ... lihatlah, kami bahkan tidak sanggup membayar satpam sehingga aku harus bersusah payah turun untuk mendorong gerbang berat yang karatan!
Rumah dua lantai di dominasi warna putih dengan aksen hitam ini terlalu kecil. Lihat saja garasinya hanya muat satu mobil dan motor. Sesampai di rumah, semua jenis kebahagiaan luntur terlebih saat melihat Arya. Ketika pintu kubuka, mainan berserakan di mana. Aku memunguti satu per satu mainan dan kuletakkan ke dalam keranjang.
"Gila, ngapain aja, sih, Arya. Rumah dibiarin kayak kapal pecah gini."
Kucolek televisi yang berdebu, kuambil kemoceng dengan emosi tersulut-sulut. Menyebalkan, Arya!
Aku tuh capek, pulang kerja, masa gini aja harus aku juga. Benar-benar ya lelaki tidak bisa diandalkan. Kerja di PHK, ngurus rumah tangga tidak bisa.
Gorden tidak ada yang ditutup dengan benar, ada saja celah. Aku harus memastikan semua jendela sudah terkunci rapat. Ya, ampun badanku sudah lelah dan masih harus mengerjakan hal sesepele ini. Sialan banget si Arya. Aku celingukan mencarinya, tak terlihat di mana pun. Kakiku mengarah ke dapur, kubuka kulkas dan makanan untuk Rio masih utuh? Mereka makan di luar? Arya mana punya duit!
Jangan bilang Rio tidur dengan perut kosong ... ya, Tuhan. Apa yang bisa Arya lakukan tanpa kesalahan? Dia sangat tidak becus dalam segala hal.
Pendingin di kamar Rio bahkan tidak dimatikan semalam ini. Tak hentinya aku mendesah. Kudekati Rio kukecup keningnya lama kemudian mengusap kepalanya. Tanpa sadar aku tersenyum, anak laki-laki yang lugu. Senyumku memudar lantaran aroma manis tercium dari mulutnya.
Rasanya aku mau meledak. Namun, berteriak akan membangunkan putra semata wayangku. Aku ke kamar dengan kesal, seketika menyeringai melihat Arya pasti melakukan hal yang menyedihkan di dalam kamar mandi.
***
Aku tidak ingat kapan terakhir kali bertemu dengan Arya tanpa adanya perdebatan yang tidak berujung. Aku rasa tak ada yang salah menanyakan beberapa hal apa yang dia lakukan di rumah. Rumah berantakan, anak tidak terurus, tidak ada makanan yang bisa kumakan. Untungnya aku sempat makan kue hangat bersama Arga tadi.
Kubuntuti dia sampai di dapur, berani sekali Arya mendiamkanku!
Aku memberinya tatapan tajam, tetapi dia malah melempar barang-barang. Sungguh ke kanak-kanakan. Tidakah dia berpikir Rio akan terbangun karena ulah dia yang kesetanan tak jelas itu?
"Ma, Pa ...." Aku tersentak mendengar suara Rio, ketika aku menoleh, dia sudah berada di ambang pintu dapur. "Jangan ribut-ribut. Aku takut."
Kuikuti arah pandang Rio, kulihat Rio mengamati pecahan gelas dan piring di lantai. Aku bergerak mendekatinya. Jongkok untuk menyamakan tinggi agar aku bisa menatapnya dan merebut kembali perhatiannya. Aku memaksakan senyum, meski hatiku mengutuk Arya yang kurang ajar.
"Eh, Rio sampai kebangun, ya. Maafin Mama dan Papa ya, tadi piringnya kesenggol jadinya jatuh."
"Gelasnya juga?"
"Iya, jadi Rio nggak perlu takut. Rio mau pipis?" tawarku. Dia masih mengucek matanya saat menggeleng. "Kalau gitu ke kamar lagi yuk. Tadi papa dongengin Rio nggak?"
Rio mengangguk, sepertinya pikirannya sudah teralihkan. Selagi berjalan menuju kamar aku berusaha mengajaknya berbicara terus menerus agar aku bisa mendeteksi apakah dia sudah merasa rileks dan aman. Setelah memastikan dia tidur, aku memberi kode kepada Arya agar dia mengikutiku.
Aku harap dia tidak salah sangka, aku hanya ingin memastikan sesuatu tentang keadaan kami. Tidak lebih. Kutunggu dia di balkon, aku mulai gusar Arya tak terlihat juga.
Langit terlihat mendung, udara malam terasa berbeda. Namun, aku sudah menunggu Arya lebih dari sepuluh menit. Dia itu, ya!
Baru saja aku berbalik hedak turun dengan ekspresi wajah cemberut. Dia sudah di ambang pintu dengan dua mug yang mengepulkan uap panas. Aroma kopi menyeruak.
"Kamu itu apa-apaan sih, Mas. Aku itu mau bicara, kamu malah mengulur-ngulur waktu."
Aku bisa melihatnya enggan berbicara. "Minum dulu, biar rileks."
"Nggak mau. Pengalihan isue."
"Aku minta maaf, Ra tentang Rio yang tidak makan malam dan tidur tanpa menggosok giginya. Aku juga sudah membiarkan rumah kita kayak kapal pecah."
"Kamu memberinya cokelat sebelum tidur mas!"
"Iya, itu juga."
"Dan kamu mau aku memaafkanmu hanya dengan menyogokku pakai kopi sasetan, Mas?" Ada penekanan setiap kata yang meluncur mulus dari bibirku.
"Ra, bisa nggak si kamu positif dikit sama aku!"
Akhirnya aku menerima mug itu dan menyeruputnya perlahan. Jangan harap bisa menikmati malam dengan kopi rasa ampas itu menyenangkan. Aku berdeham sebelum memulai, "Kita sudah tahu keadaannya ...."
"Keadaan apa?" sela Arya terdengar tersinggung.
"Keadaan keuangan kitalah jangan pura-pura bodoh kamu, ya."
Arya membuang muka, aku memutuskan melanjutkan, "Kamu dipecat, kamu pengangguran. Kamu tahu artinya apa? Kita dalam masalah besar."
Di kepalaku berbagai kemungkinan buruk sudah berputar-putar.
"Kita sudah cukup jatuh dengan hidup serba kekurangan begini, aku tidak bisa berhenti bekerja kalau masih ingin mempetahankan rumah ini. Hanya ini solusi yang bisa aku pikirkan saat ini dan itu yang terbaik. Kita akan bertukar peran."
Aku lihat bola matanya membola nyaris keluar dan aku tak memberinya kesempatan sedikit pun.
"Tidak ada cara lain," tegasku.
"Aku akan cari kerja dan tabungan kita masih ada."
"Tabungan lagi tabungan lagi, kita ini hidup dalam ketidakpastian, memang kamu bisa menjamin seminggu kemudian sudah mendapat pekerjaan baru? Kamu itu dalam keadaan yang tidak bisa memilih, Mas."
Arya mendengkus kesal. Dia meletakkan cangkir pada satu-satunya meja di tempat itu.
Aku berbalik dan berkata, "Katakan kalau kamu punya solusi lain?"
Aku bersidekap, menyandarkan tubuhku pada dinding dan menyeringai sebelum aku meninggalkannya di balkon. Sendirian.
****
Hai haiii udah Senin aja nih, kemarin pas Kamis udah baca Arya belum? Di akun @BrinaBear88?Purbalingga, 19 Februari 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Is There a Second Chance for Us?
RomanceSatu per satu masalah datang beruntun menghantam hubungan Amyra dan Arya. Pernikahan yang dibangun di atas pondasi yang rapuh pun tak kuat menghadapi goncangan demi goncangan. Kehadiran orang ketiga semakin memperburuk keadaan. Terlalu banyak retaka...