12.) Paradoks

41 6 1
                                    

"Menjijikan banget, Mas. Udah buncit masih dipamer-pamerin. Lihat Arga dong, badannya bagus banget. Perutnya sixpack. Body goals banget, lah kamu ...." Aku bangkit meninggalkan Arya yang sudah persis kayak gelandangan di taman. Malam itu padahal lumayan dingin, aku pun kembali ke rumah dan menyaksikan drakor favorit. Sementara Mas Arya masih memandangi perutnya yang besar itu.

Aku masih memikirkan apa Arga bisa datang memenuhi undangan makan malamku? Pesan yang kukirim bahkan tetap tidak berubah menjadi biru. Mungkin sedang melakukan operasi atau semacamnya. Dokter kan suka begitu tidak bisa diganggu. Kalau dilihat dari sosial medianya, Arga sudah lebih terbuka, banyak foto close up dirinya. Arga yang dulu mana mungkin sepercaya diri itu. Tanpa sadar aku tersenyum. Arga juga menjadi lebih kuat ....

Malam ini sangat dingin, pasti bakalan seru kalau ... Ah, sial!

Shopee COD ... Shopee COD ...

Nonton YouTube aja diselingi iklan. Ini gara-gara punya suami duitnya seuprit langganan aplikasi nonton aja tidak sanggup membayar. Yang suruh iritlah, hemat, nabunglah. Tapi lihat sendiri siapa paling gemuk di rumah ini? Ya, dia! Makan banyak, ngopi tidak mau kopi kemasan dua ribuan, belum ngemilnya ... Ya, Tuhan. Gimana mau punya body yang bagus. Malas gerak iya.

Iklan itu membuatku malas melanjutkan menonton drakor dari situs ilegal. Mendengarkan musik di aplikasi pun pasti akan bernasib sama. Setelah meletakkan ponsel di atas meja, aku akan membersihkan diri kemudian tidur. Ketika kubuka lemari, piyama favoritku tidak ada, semua piyama sudah masuk keranjang kotor. Mas Arya pasti lupa buat membawa pakaian itu ke laundry. Hanya tersisa lingeri hitam yang tipis. Sejujurnya sangat tidak efektif di malam yang sangat dingin ini. Namun, membayangkan mengenakan kemeja saat tidur uhhh ... pasti sulit sekali bergerak. Yah, tidak ada pilihan lain.

Aku becermin, kulihat keriput samar mulai ada di kelopak mata. Lingkar panda yang semakin gelap membuatku tampak menyedihkan. Hidup miskin benar-benar membuatku tak terawat. Sebelum makan malam, aku akan ke salon. Sesekali ke salon kan tidak masalah. Lagipula, aku bekerja lebih keras dari Mas Arya, jadi aku berhak memakai uang lebih banyak.

Seharusnya, lelaki tidak boleh menikah sebelum bisa membedakan mana uang dapur dan mana nafkah istri. Lah, Mas Arya ... boro-boro nafkah. Uang bulanan aja minus, aku harus nombokin. Dia malah kena PHK dengan utang yang jumlahnya tidak main-main seperti cicilan rumah ini.

Terdengar aliran air yang kupercikkan ke wajah, ritual sebelum tidur kulakukan seperti biasa. Hanya saja malam ini agak malas. Mood-ku jelek parah saat kemunculan Mas Arya. Selesai di kamar mandi aku keluar dengan handuk kecil untuk mengeringkan wajah. Kulempar handuk itu ke wajah Mas Arya yang sangat mesum. Kutarik semua selimut, kusingkirkan Mas Arya jauh-jauh.

"Ra, kok kamu gitu banget sih sama aku, aku nggak najis kok."

Itu adalah suara terakhir yang kudengar sebelum digantikan suara dengkuran. Saat aku menoleh, niat baikku memberinya selimut kubatalkan.

***

Hari ini Mas Arya libur, tentu saja aku yang memintanya. Dia harus membantuku membawakan belanjaan. Belanja bulanan selalu merepotkan. Namun, kali ini aku belanja lebih awal. Aku mau memasak sesuatu yang fresh buat Arga.

"Ra, kok sayurannya mahal banget."

"Aku beli yang premium, Mas. Kan Mas Arga mau dateng. Masa mau dihidangkan sayuran dari abang-abang. Dia kan dah nolongin Rio, Mas," jelasku. Aku melihat Mas Arya memberengut tak suka. Dia mulai menyalakan mobilnya.

"Mama, Rio boleh minum ini? Haus banget, Ma."

Aku menoleh melihat Rio sudah memegang minuman berwarna merah, dia mengocok minuman itu hingga berbuih. "Ya, udah minum aja. Rio nggak apa-apa di belakang sendirian?"

"Nggak apa-apa, Ma."

"Hm, Mama duduk di situ aja ya?" tawarku. Rio tampak tak terlalu peduli. Aku menepuk pundak Mas Arya. "Mas-mas, aku pindah ke belakang aja, deh."

"Kenapa, Ma? Di belakang kan sempit ada belanjaannya."

"Gampang itu mah pindahin aja ke depan. Aku takut Rio kebentur, kamu kan kalo nyetir suka meleng."

Mas Arya berdecih.

"Mas kok nggak turun? Kamu tega aku angkat-angkat barang sendirian mindahin semua ini ke depan?" Tak lama kudengar pintu dibuka kemudian ditutup dengan keras. "Kenapa? Kok ngamuk-ngamuk? Nggak suka?"

"Mama kenapa marah-marah mulu sama Papa?"

"Nggak apa-apa kok Rio. Itu papa belum bersihin telinga jadi agak budeg kudu keras kalo ngomong. Rio harus rajin bersihin telinga ya biar pas ngobrol langsung denger. Rio nggak mau kan budeg kayak papa?"

Rio menggeleng, aku pun berkata, "Bagus, Rio."

Perjalanan dari pasar menuju ke rumah sangat lama sampai-sampai rasanya sangat lapar.

"Ma, Rio lapar."

"Iya, nanti sampai rumah langsung masak ya."

"Nggak mau, mau makan itu." Rio menunjuk ke kios makanan di pinggir jalan.

"Pecel lele?"

"Bukan, tapi yang itu di sebelahnya."

Seblak? Rio bahkan belum pernah aku kasih makan seblak. Aku agak terkejut karena dia menolak pecel lele, padahal aku yakin lele adalah makanan favorit dia.

"Itu pedes loh, Rio. Emang Rio bisa makan?" Mas Arya menyahut. "Kita makan masakan Mama aja ya sebentar lagi juga sampai."

"Udah, sih Mas turutin aja. Kita kan cari duit juga buat Rio. Mas nggak kasihan apa sama aku? Baru pulang nanti langsung uprek di dapur?"

"Ya, nggak gitu juga Ra. Maksudku, tuh--"

"Udahlah, kamu tuh emang suka banget kalo aku hidup susah kan. Anak mau makan seblak aja pelit banget."

"Ini bukan masalah pelit, Ra. Ah, ya sudahlah ayo makan seblak."

"Apa itu maksudnya sudahlah? Kamu nggak ikhlas?"

"Ya, Tuhan, Amyra ... kenapa kamu nethink mulu ke aku? Jangan-jangan kamu butuh bantuan, Ra."

"Apa maksudmu aku gila?"

"Kita ke psikolog bareng yuk Ra, rumah tangga kita nggak baik-baik aja, kita perlu perbaiki semuanya."

Sadar tidak, yang tidak baik-baik saja itu dia! Yang dipikirannya cuma seks aja. Kurang peka, orang lagi marah diajak berhubungan intim, lagi kesal justru digodain. Memangnya bisa rumah tangga hanya mengandalkan itu? Sekarang mau cuci tangan dengan ajak ke psikolog? Entah sampai jam berapa aku tidak bisa tidur memikirkan semua itu. Apa benar butuh psikolog untuk memperbaiki rumah tangga kami? Aku menggeleng hebat dan menyembunyikan diri di balik selimut tebal.

Aku tidak tahu tidur sampai jam berapa, aku bangun dalam keadaan sakit kepala. Heran rasanya, semakin ke sini sering sakit kepala berkepanjangan. Aku meregangkan otot yang pegal, kutengok sebelahku. Sudah kuduga Mas Arya masih terlelap. Aku akan turun membuat sarapan. Semalam melewatkan makan malam membuat pagiku lapar lebih cepat.

Hari Minggu memang biasanya pada bangun siang, aku akan membuat roti bakar dan segelas susu saja.

Ketika aku tengah mengoleskan mentega di roti terakhir, kudengar bel rumah berbunyi. Aku pun menghentikan semua aktivitas di dapur.

Ah, siapa yang bertamu sepagi ini? Aku melirik ke arah cermin dekorasi di dinding terkejut dengan rambutku yang awut-awutan. Aku kembali ke dapur mengambil sebuah sumpit dan memakainya untung menggelung rambut sekenanya. Haduh, aku masih mengenakan lingerie!

Bel kembali berbunyi, tidak ada waktu mengganti pakaian, "Lebih baik aku intip dulu siapa yang datang."

Kusibakkan gorden murahan yang menampakkan seseorang, Arga? Aku tak menunggu lama untuk membukakan pintu untuknya. Seketika kulihat dia memindai tubuhku dengan kikuk, kemudian dia menunduk. Kulitnya yang putih merona seperti terbakar, aku pun tersenyum.


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 29 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Is There a Second Chance for Us?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang