9.) Manis-manis

61 11 3
                                    

Kepalaku sangat berat, aku tak ingat apa pun. Hal terakhir yang kuingat adalah Arga menolak mengantarkanku karena besoknya ada seminar. Untungnya aku bisa mendapat taksi yang mengantar ke penginapan dengan mudah. Teriakan bocah kecil itu apakah Rio? Suaranya sangat akrab, tetapi aku nggak yakin karena hari sudah terlalu gelap. Lagipula aku nggak mau momen langka liburanku keganggu.

Lihat, meski sedang liburan pun rekan kerjaku tetap mengirimiku email. Aku nggak bisa pulang dengan tangan kosong. Rio pasti akan cemberut terus. Itu sangat menjengkelkan. Aku tak mau liburanku rusak begitu saja.

"Pak, nanti mampir ke sentra oleh-oleh dulu bisa, ya?"

"Bisa, Bu. Mau beli apa?"

"Pengen yang manis-manis nih, Pak."

"Ah, yang manisnya kayak Ibu, ya?"

"Ah, Bapak mah bercanda aja. Bapak tahu tempat yang makanan manis yang gurih dan enak?"

"Di sekitaran sini Jeje Uli milik Wayan paling yahuttt Bu."

Kulirik spion yang menampakkan wajahku, ihh ... nggak banget rasanya. Rambut sudah tergerai berantakan, make up sudah terhapus membuat wajah bulatku sepucat mayat hidup. Mungkin melihatku tak kunjung bereaksi, sopir itu kembali menambahkan, "Meski namanya Jeje Uli, di sana nggak hanya jual jeje uli kok, Bu. Ada banyak jajanan pasar yang bisa dipilih."

Mata besarku berbinar, aku membayangkan klepon khas daerah Bali yang legit.

Hanya dalam waktu sepuluh menit, aku sudah di lokasi. Bayanganku, tempatnya akan menyerupai warung tradisional, ternyata bangunan di hadapannya sangat mengejutkan. Fasadnya modern, elegan, tetapi sentuhan Bali di tempat itu juga sangat kental ketika memasuki ruangan itu. Tempat itu dipenuhi pengunjung dari berbagai usia tersebar di bangku-bangku yang tersedia. Untuk area take away juga sama padatnya. Wisatawan lokal dan turis mancanegara membaur membentuk antrean memanjang. Di depan etalase terbuat dari perpaduan kayu jati yang diukir khas dan kaca menampakkan jajanan yang menggugah selera,

Selagi aku mengantre, mataku tertuju pada makanan di dalam etalase dan membidik apa aja yang akan dibawa pulang. Aku menentukan bahkan ketika tengah mengantre agar efektif dan tak terlalu lama dalam memilih. Diputuskan tiga jenis jajanan lokal akan kubungkus, Rio pasti suka, baunya aja sangat menggoda, pikirnya. Pikiran itu membuatku tersenyum. Aku keluar dari antrean dengan jajanan di tangan. Perjalanan ke penginapan tak terlalu kuingat sepertinya aku sempat tertidur.

Aku sangat beruntung mendapat driver yang tidak banyak tingkah, aku yang sempat tidur kelelahan sampai di penginapan dengan aman. Padahal orang itu punya banyak kesempatan untuk berbuat jahat. 

Kamar tempatku menginap tak mewah, tetapi tak terlalu buruk. Dari lobi aku berjalan menyusuri koridor di mana sejauh mata memandang disuguhkan pemandangan terbuka deretan bunga Marigold. Langit sudah menggelap sempurna, tak berbintang tetapi cukup terang.

Kursi taman di pelataran terbuka itu terisi pengunjung penginapan yang bersantai ria. Mereka sepasang anak muda yang tengah beecengkerama. Tak ada yang istimewa dari pemandangan itu, gadis yang bersandar di pundak remaja laki-laki itu mendongak memandangi kekasihnya dengan tatapan takjub yang mendamba. Si cowok memegangi snack dan menyuapinya, keduanya terasa sangat intim dengan aktivitas sederhana itu. Langkahku yang memelan berhenti sempurna melihat mereka berkelakar bersama.

Dulu, Mas Arya sehangat itu ....

Aku melanjutkan perjalanan ke kamar yang berada di paling ujung. Tanpa sadar aku mengeja deretan pintu yang diberi nama-nama tokoh pewayangan. Seperti rumah sakit daerah saja. Aku menekan kenop pintu yang tak terkunci. Kudengar televisi masih menyala menayangkan acara serial drama rumah tangga.

"Ya, ampun Mas! Kamu biarin Rio nonton itu?" makiku. "Rio masih anak-anak loh kok kamu gitu sih, Mas. Ya, ampun."

Bunyi kresek terdengar saat kutaruh asal-asalan di satu-satunya meja di ruangan itu.

"Orang Rio nggak nonton, kok. Tuh lagi main. Lagian kamu pulang bukannya salam malah marah-marah. Kamu tuh dari--"

"Mana ada nggak nonton, dia kelihatan lagi main, tapi otak Rio cerdas, dia bisa mengingat apa yang didengar bahkan dilirik sekilas doang."

"Kalo gitu jangan marah-marah, dong, Ra. Kamu mau kasih kenangan buruk di liburan Rio."

"Kok kamu jadi nyalah-nyalahin aku, Mas." Suaraku meninggi. Dengan napas terengah aku melanjutkan, "Ini kamu kasih tontonan rate dewasa loh ke anak kita."

Aku mematikan televisi dan bergegas mengambil minuman dingin yang dia beli di jalan.

"Mama sama Papa kok berantem sih?"

"Maaf, Rio mama nggak bermaksud begitu sama Papa. Mama cuma mau kasih tahu Papa kalau Rio belum boleh nonton acara itu. Mama nggak marah sama Papa, kok. Iya, kan, Mas?" Menekan kata "Mas" dan memberinya tatapan tajam yang kumiliki.

"Jelas, dong. Mana bisa papa marah sama Mama."

Tiba-tiba tubuhku nyaris terhuyung saat Mas Arya yang gendut itu menubrukku dari belakang dan mendekap erat. Aku pun melayani drama murahannya di depan Rio, tersenyum dengan senyum karier yang biasa di pasang ketika bekerja. Rasanya agak menjijikan mencium bau keringat Mas Arya, aku yang baru sampai pun masih lengket.

"Oiya, Mama beli jajan buat Rio loh. Mama siapin buat Rio ya."

"Rio bisa ambil sendiri nggak, Sayang? Biar Mama sama papa dulu?"

"Iya, Pa. Rio kan pinter, jadi nggak perlu dibantu Mama lagi ambil makanan."

"Pinternya anak Papa," kata Mas Arya masih memelukku menggoyang-goyang tubuhku. "Ra, kamu dari mana?"

"Lepas, Mas."

"Nggak mau sebelum kamu jawab jujur."

"Kamu nggak percaya sama aku?"

"Nggak percaya gimana?"

Kurasakan pelukannya melonggar, aku melepaskan diri dengan paksa. Itulah sebalnya aku sama Mas Arya, otaknya hanya sebesar kacang mete. Dia tak pernah mengingat sesuatu dengan benar. Sesimpel meletakkan handuk di tempatnya selepas mandi, Mas Arya pasti meletakkannya sembarang di kasur.  Abis minum kopi, gelas pasti sampai disemutin gak langsung di taruh di dapur. Tidak heran kalau dia tidak ingat izinku pagi tadi.

Aku menjauhinya, aku bantu Rio membuka tiga jajanan manis kesukaannya.

"Ini apa namanya Ma, enak banget."

"Itu klepon Bali, enak?"

"Enak banget, Ma. Nanti Rio mau lagi! Rio mau nyicip yang itu," katanya dengan mulut penuh makanan membuat artikulasinya gak jelas. Telunjuknya menunjuk salah satu makanan yang masih belum tersentuh. "Semua pakai palutan kelapa dan gula, Rio suka."

Selanjutnya aku terlalu lelah mendengar celotehan Rio tentang makanan itu, aku menenggak soda dingin dan nyaris terlelap setelahnya. Namun, Mas Arya mendekati Rio dengan antusias berlebihan. "Mandi di pemandian air panas yuk, Rio."

"Malam-malam begini, Mas?" pekikku, tetapi tak diindahkan karena keduanya langsung berkemas.

Is There a Second Chance for Us?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang