5.) Firasat Buruk

65 16 2
                                    

Berdiri di dapur dengan aroma harum masakan yang menguar, terlihat bukan aku banget, tetapi ya ... tidak masalah mumpung libur. Kapan lagi bisa memasak sendiri untuk kesayanganku, Rio. Ngomong-ngomong soal Rio, aku belum melihatnya lagi sejak mencuci muka. Aku baru menegurnya, dia tak membilas mulut dengan bersih. Busa pasta masih menempel di pipi gembulnya yang tampak menyusut.

Air dalam panci sudah mendidih di atas kompor, di sebelahnya, wajan berdenting saat aku menumis bawang dan bawang putih. Sambil memasak, mataku terus memantau keberadaan anakku. Kudengar kegaduhan dari samping rumah. Buru-buru kumatikan kompor dan menyongsong sumber suara. Aku khawatir, Rio bilang akan belajar bersepeda. Namun, tampaknya saking tak sabarnya, dia tak menghiraukan aku. Dia tak mau menunggu. Padahal hari masih terlalu pagi dan dia belum sarapan.

Percaya tidak, kecerdasan anak diwariskan dari sosok ibu, tak heran Rio tumbuh jadi anak yang cerdas. Namun, kelakuan pasti ikutin ayahnya selain cerdas, Rio agak bandel.

"Rio, hati-hati!" teriakku ke arahnya, suaraku memotong keramaian. "Jangan terlalu cepat!"

Rio menyengir dan berkata, "Nggak papa, Ma. Tadi dibantuin sama Tante Baik."

"Rio." Panggilanku membawa perhatiannya kembali. "Ingat rem saat menikung!"

Dia mengangguk seraya tersenyum, matanya bersinar penuh semangat. Aku tersenyum lega, tetal saja kekhawatiran membayangi pikiranku. Anak laki-lakiku yang berusia lima tahun ini belum mahir mengendarai sepeda.

"Rio, ayo pulang."

Sementara itu, di dapur tercium bau hangus, api di bawah panci mulai memancarkan percikan. Aku segera mematikan kompor yang ternyata baru dimatikan sebelah. Lagi-lagi aku harus mengulang. Masakan untuk makan malam keluarga harus sempurna, tetapi liat yang terjadi. Tak ada yang bisa diselamatkan. Aku mengempaskan diri ke sofa dan mengambil ponsel memutuskan membeli makan melalui aplikasi.

"Ayo, Rio sini!" ujarku, mencoba memberikan semangat. "Kamu sudah sangat bagus!"

"Beneran?"

Aku mengangguk. Entah apa yang membuatnya tetap murung.

"Rio ada apa?"

"Tapi Rio jatuh, Ma."

"Terus kenapa?"

"Kata Papa, Rio nggak boleh jadi cowok lemah. Agar nggak diinjak-injak orang pas jatuh. Rio harus kuat, tapi tadi Rio jatuh. Jadi Rio cowok lemah dan pasti akan ada yang injek-injek Rio nanti."

Aku melongo mendengar celotehan Rio. Entah suntikan macam apa yang dimasukkan ke kepala anak kecilku yang polos ini. Aryaaa ... Bisa nggak di jadi laki-laki yang bisa diandelin. Gigiku gemeretak. Beruntung makanan pesanan datang tepat waktu. Kualihkan perhatian Rio, kusiapkan semua di meja makan. Aku lupa, Arya sedang bekerja. Makanannya terlalu banyak.

Atas saran Rio, kami antar makanan ke tetangga kami yang menolong Rio tadi pagi.

Dari halaman belakang, sebenarnya ada satu pintu penghubung yang akan lebih dekat sampai ke halaman wanita itu, siapa namanya? Aku bahkan tak mengingatnya. Rio memanggilnya Tante Baik. Seingatku namanya berhubungan semacam dengan harapan. Ya, Asha namanya.

Sejujurnya, first impresion-ku terhadap wanita itu kurang baik. Meski sejujurnya aku kurang inget pastinya. Apa karena dia sedikit lebih cantik dariku? Sepagi itu di tukang sayur hanya memakai kaos berlengan selebar tali bra uhhh ....

Sebagai wanita bermartabat aku yang justru malu. Kaos putih itu padukan celana hotpants yang ... Aku bahkan malu menyebutkannya. Aku menyebutnya cantik karena dia punya warna kulit pucat dan rambut panjangnya sehitam jelaga. Sempurna dengan tinggi ideal.

"Ma, ayo. Tante Baik pasti di dalem." Rio menarik-narik tanganku. Aku menatapnya tak mengerti, orang menolong anak jatuh dari sepeda bukannya wajar? Kenapa Rio sampai seperti ini. "Ma!"

Aku tersentak. Kupencet bel dengan enggan. Sesekali kulihat makanan yang kubawa. Sementara Rio, dia menggenggam gerbang besi dengan kedua tangannya, kakinya berjinjit tak sabar sampai seorang wanita menghampiri dan tersenyum lebar.

"Hai, Jagoan."

"Hai, Tante Baik."

"Ada apa, nih?"

"Mau main ke rumah Tante boleh kan?"

"Boleh, kok. Rio minggir dulu, ya. Biar tante buka gerbangnya."

Terdengar gerbang didorong.

"Anda pasti ibunya Rio. Aku Asha."

"Iya, kita sudah bertemu sebelumnya."
.
Aku menyerahkan makanan itu dan melihat ekspresi kegirangan yang seperti dibuat-buat. Kami masuk disuguhi desain interior yang menakjubkan. Sekali lihat saja bisa dipastikan Asha bukan tipe yang sederhana. Pilihan furniture-nya berkelas. Begitu banyak pajangan di ruang tamu, tetapi enak dilihat.

Beberapa menit kemudian wanita itu keluar dengan secangkir teh. Aroma tehnya sangat menggoda, warnanya memikat. Saat aku mencicipinya, aku yakin belum pernah minum teh seperti itu.

"Senang sekali ada yang berkunjung. Setelah tinggal di sini beberapa lama, nggak pernah ada yang mau dekat-dekat denganku. Aku nggak tahu kenapa pastinya."

Kulihat Asha memainkan cangkirnya sebelum benar-benar meminum teh itu. Aku berdeham sebelum berkata, "Terima kasih banyak sudah menolong Rio, dia memang agak merepotkan."

"Ah, nggak kok. Nggak ngerepotin sama sekali. Aku malah seneng kalo Rio mau main. Aku suka kesepian. Apalagi sekarang lagi full kerja dari rumah. Bosan."

Dia tertawa, aku pun demikian meski sebenarnya tak tahu letak kelucuannya di mana.

Tiba-tiba saja, terdengar bunyi benda jatuh dari arah dalam. Aku terkejut, sejak kapan Rio beranjak dari sebelahku tanpa kusadari dan kini berdiri di depan lemari kaca. Di sana berderet-deret patung keramik berukuran kecil dari berbagai belahan dunia. Namun, satu ruang kosong tercipta. Sebuah patung keramik berbentuk kucing jatuh dan pecah berkeping-keping.

Is There a Second Chance for Us?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang