Jika tatapan bisa membunuh, pasti Arya sudah mati! Sudah kubilang jangan macam-macam, dia masih saja mencuri-curi kesempatan. Aku juga sih kenapa sampai lengah, ujung-ujungnya terperangkap dalam jebakannya. Kurang ajar benar lelaki itu. Lihat, sekarang mood-ku terlanjur buruk sejak pagi.
Bagaimana tidak, sudah kesiangan, Arya lelet banget. Semua lis yang sudah disusun semalam sia-sia, tak ada satu pun berjalan sesuai rencana. Ujung-ujungnya aku yang melakukan semuanya. Untung saja Arya punya istri cerdas yang bisa diandalkan dalam berbagai situasi seperti aku. Hingga semua bisa di-handle dengan semestinya. Cuma, ya ... Arya memang menyebalkan sih. Seperti ketika meninggalkan bandara dan masuk ke taksi, dia membiarkanku menyeret koper segede gaban. Tidak ada inisiatifnya sama sekali untuk membawakan barang-barang sampai ke penginapan. Benar-benar suami tidak peka!
Maunya enak doang. Aku menghela napas panjang.
"Kamu capek, Ra? Laper, nggak?"
Mas, mauku tuh kamu kasih makanan langsung. Nggak perlu nanya!
Sepertinya kejengkelanku nggak bisa lagi disembunyikan. Seharian sesampainya di penginapan, aku mendiamkannya. Seandainya wisata ini dilakukan beberapa tahun lalu, aku yakin tidak perlu menginap di tempat busuk seperti ini. Jelek, murah!
Kali ini aku nggak mau perjalanan ke Bali menjadi sia-sia. Aku perlu me time setelah penat bekerja beberapa waktu terakhir. Biarlah ayah dan anak itu bersama.
"Mau ke mana, Ra?" tanya Arya.
"Cari udara segar sebentar."
"Ya, udah bareng, yuk."
"Rio mau ditinggal gitu?" kataku sinis. Aku menyeringai menyadari dia sedang tertidur. "Lagian aku cuma sebentar kok, di sekitaran sini aja. Jagain Rio ya, Mas."
Aku tak perlu persetujuannya untuk pergi menikmati keindahan pulau dewata ini. Lagi pula sekali-kali pergi sendiri tidak terlalu bermasalah seharusnya. Bosan banget setiap kali yang bisa dilihat Mas Arya terus, Rio terus. Capek-capek kerja ketemunya mereka lagi. Aku benar-benar kehilangan momen kesendirianku. Aku tak bisa bebas nongkrong sama temen, ya ... sekarang memang aku tidak punya banyak teman apalagi sejak Mas Arya kena PHK dan keuangan kami morat-marit, tak ada temen sosialita yang bertahan ataupun menawarkan bantuan. Mendadak semua sibuk sendiri.
Kusampirkan selendang semi transparan menutupi bahuku yang terekspos, angin yang bertiup di Bali sangat segar, minim sekali polusi. Setidaknya penginapan murah nan bobrok itu memberikan akses yang mudah kepada pengunjung untuk ke tempat wisata seperti Pantai Kute yang terkenal dengan keindahannya. Aku hanya perlu berjalan beberapa menit aku bisa melihat hamparan pasir putih yang luas dipadati para turis dan wisatawan.
Pedagang kaki lima berkeliaran menawarkan dagangannya, es krim, jeje uli, makanan berat yang dikemas sekali makan, dan minuman dingin. Namun, tentu saja aku tak ingin membeli semua itu. Di tepi, aku melihat sebuah restro yang menyajikan makanan dan minuman khas Bali dengan panorama menghadap ke laut.
Aku akan memesan kelapa muda dan beberapa makanan ringan, matahari sangat terik dan aku tak ingin berjemur. Kupilih sebuah meja bundar berpayung dengan dua kursi kayu. Restoran ini bukan untuk kelas atas, tetapi sangat ramai. Pasti makanan dan minumannya sangat enak. Kubiarkan angin pantai membelai rambut panjangku, aku bersandar, menyilangkan kaki dan menggunakan selendang menutupi paha. Kenikmatan yang ... ya, seharusnya aku bisa mendapatkan lebih, tetapi ini tak terlalu buruk.
Topi jerami kubeli dari salah satu pedagang sangat pas seakan dibuat khusus untukku. Penjual itu memberikan bonus kamboja putih yang sangat cantik dan kuselipkan di antara telinga. Bali tak terlalu buruk, mungkin lain waktu aku akan ke Swiss atau Prancis. Aku harus lebih rajin bekerja setelah ini.
Angin bertiup lebih kencang menyingkap selendang di paha tanpa sadar aku memekik dan refleks akan memungut kain panjang itu. Namun, seseorang mengambilkannya.
"Maaf, Nona. Ini punya An--" Kalimat itu terpotong, dia menganga lalu tersenyum lebar. "Amyra?"
Aku terkesiap, tetapi letupan energi dalam dadaku seakan meningkat tajam. Lelaki itu bertelanjang dada menampakkan lekukan yang terpahat sempurna seakan-akan tak pernah melewatkan gim sekali pun. Mau dilihat dari sisi mana pun dia sangat jauh good looking dari Mas Arya yang lemaknya sudah mengendap di mana-mana membentuk lipatan dan gelambir.
"Loh, Arga?"
"Ini kosong?" Lelaki itu menunjuk sebuah kursi. Aku mengangguk mengiayakan. Dia langsung mendudukinya dan menyesap es kelapa muda yang dia bawa. "Sendirian aja, nih?"
"Ah, iya nih. Kamu lagi liburan?" tanyaku.
"Hm, sebenarnya urusan kerjaan, sih. Ada semacam seminar gitulah. Aku berangkat dua hari lebih cepat buat mengumpulkan energi ya semacam ini." Dia mengendikkan dagu. "Nginep di mana?"
Aku gelagapan, "Di sekitaran sini, kok."
Aku menyesap es itu, rasa manis yang dingin memenuhi lidahku. "Berapa lama di sini?"
"Lumayan lama, sekitar dua mingguan."
"Apa setelah ini kita bisa ketemu lagi?" tanyaku entah kenapa spontan menanyakan itu. Ketemu kawan lama di tempat asing rasanya sangat menyenangkan. Semua orang pasti paham itu. Selanjutnya obrolan mengalir sangat lancar sampai kami tak menyadari bahwa waktu telah bergulir dan kami telah menghabiskan waktu cukup lama sampai langit berubah warna.
Semburat oranye memenuhi langit memayungi anak-anak kecil bermain pantai. Siluet sepasang kekasih saling membahu, menyenderkan kepala seakan mereka akan menjadi saksi mata fenomena alam yang memanjakan mata itu.
"Ayo foto bareng?"
Aku tidak menolak, kami memang tak pernah punya kenangan bersama meski sering menghabiskan waktu bersama dulu. Kami memgambil beberapa foto close up, candid, bahkan meminta tolong turis lain agar mau memfotonya. Hari ini sangat menyenangkan, terlebih saat Arga mengundangku ke penginapannya. Aku tak bisa menolak. Sudah lama kita tidak berbagi berita lagi, aku mengikuti lelaki yang kini menggenggam tanganku dengan sangat erat. Aku menunduk melihat tangan kami yang saling terkait.
"Mama." Hatiku tersengat mendengar suara anak laki-laki. Aku menenangkan diri ada banyak anak-anak bermain pasir di pantai dan tidak hanya Rio yang memanggil ibunya dengan sebutan Mama. Aku menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan.
"Kita makan di resto penginapan aja gimana?"
Aku mengangguk.
"Kita ke pusat perbelanjaan dulu cari baju buat kamu dan ... aku punya ide yang lebih menarik! Bagaimana kalo kita masak?"
"Itu ide yang bagus."
"Mama!" Suara itu lagi ... aku tak buru-buru menoleh. Kueratkan genggamanku lalu mempercepat langkah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Is There a Second Chance for Us?
RomanceSatu per satu masalah datang beruntun menghantam hubungan Amyra dan Arya. Pernikahan yang dibangun di atas pondasi yang rapuh pun tak kuat menghadapi goncangan demi goncangan. Kehadiran orang ketiga semakin memperburuk keadaan. Terlalu banyak retaka...