10.) Mana Aku Tahu!

42 9 1
                                    

Panas lagi terik-teriknya, tetapi kebiasaan Mas Arya yang selalu saja molor di setiap kesempatan membuat kami kewalahan. Bahkan seharian ini kami belum sempat sarapan. Perutku sudah lapar, tetapi waktunya sangat nanggung sebentar lagi jam makan siang. Bukan Mas Arya kalau tidak mengajakku bertengkar sehari saja. Untuk perkara sesepele sarapan saja lelaki bertubuh gempal itu ribut sendiri. Tidak heran makin ke sini makin membuncit saja dengan pola makan seberantakan itu.

Dia tak tahu pentingnya makan tepat waktu untuk kesehatan. Sudah begitu tak sadar diri sudah membuat semua orang terlambat sarapan masih harus mencoba mengacak-acak jadwal makan siangku. Sudah kubilang makan makanan ringan saja, nanti juga pasti makan makanan berat. Namun, Mas Arya ngeyel dan berujung bertengkar.

"Berantem mulu, ih! Rio tuh dah lapar," katanya, terlampu lirih, terlampau jengkel sampai aku bisa merasakan anak itu frustrasi. Dia sampai memainkan minuman soda yang dibawanya, mengocok-ngocok dengan asal sampai busa memenuhi ruang kosong pada botol itu. Aku masih marah besar sama Mas Arya, meski begitu aku mau dia itu tahu kalau seorang istri lagi ngambek tuh jangan diajak ngomong, validasi emosinya bukan malah membandingkan dengan diri sendiri yang tak kalah susah, merasa si paling menjadi korban.

Dadaku yang sudah terasa seperti terbakar karena memendam emosi kini terasa sesak dan perih. Suara dentuman yang keras terlalu nyata, aku berhenti sesaat mencoba mencerna apa yang terjadi. Dia hanya berusaha meluruskan niat Mas Arya, tetapi Rio yang tadi hanya berjarak beberapa langkah saja sambil memainkan botol sodanya sudah tak terlihat lagi. Duniaku memerosot mendengar seseorang bersuara lantang, aku yang menoleh ke arah sana seketika mengikuti arah pandangnya. Rio, bocah itu dalam pelukan seseorang. Rio mencengkeram erat snellinya. Tak jauh dari sana, botol soda yang menggelinding hancur terlindas sebuah mobil pengangkut barang. Mobil bak terbuka itu keluar dari lintasan menabrak bahu jalan. Entakan yang kuat dan tiba-tiba membuat dua galon terjatuh. Satu di antaranya tumpah ruah membasahi jalan aspal.

Aku tak bisa membayangkan seandainya dokter itu tak menyeret Rio, dia pasti ada di sana, di bawah roda bersama botol soda yang remuk.

Ketika Mas Arya berlari mendekati Rio, seluruh tubuhku terasa lumpuh. Aku syok, hanya selang beberapa detik saja aku bakal kehilangan Rio.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Arya yang sudah menyamakan tingginya dengan Rio. Setelah dia mengangguk, Arya berdiri dan menggendongnya. Dia pun berkata, "Terima kasih banyak, Dok. Anda telah menyelamatkan anak kami."

"Sama-sama, Pak. Dia sedikit syok, tapi nggak ada luka." Arga tersenyum lalu melanjutkan, "Lain kali jangan jauh-jauh dari Mama dan Papa, ya?"

"Iya, Om baik. Nanti main lagi ya ke rumah Rio."

"Iya, Om pasti main. Lihat tuh, Mama kamu ketakutan, ayo peluk Mama."

Rio memberontak dari pelukan ayahnya dan memelukku. Aku menyambutnya. Kupeluk dia dengan sangat erat, aku tidak mau lagi kehilangan Rio. Dia lah satu-satunya alasanku masih bertahan dengan lelaki tidak berguna ini. Seandainya dia tidak egois, langsung setuju saja untuk menyantap camilan, pasti semua tak seburuk ini.

Aku tak melihat Arya dan Arga sepertinya mereka terlibat obrolan.

"Aku nggak nyangka loh bisa ketemu Rio di sini," kata Arga.

"Kalian pernah ketemu sebelumnya, ya?" Arya menimpali.

"Kebetulan aku dan Amyra teman kuliah."

"Kok bisa dia punya teman dokter ...."

Arga terkekeh, "Amyra memang sangat menyenangkan. Dia pandai bergaul dan merebut hati banyak orang. Anda saja jatuh cinta bukan? Amyra emang semenarik itu."

"Kayaknya akrab banget, ya?"

"Iya, dulu itu Amyra ya ampun, dia tangguh. Pemberani. Kalo bukan Amyra pasti aku nggak akan bisa sampai di titik ini," jelasnya. Aku tanpa sadar tersenyum dengan pujian itu. Meski ingatan tentang kejadian yang Arga maksud belum kuingat sama sekali.

"Oh, ya?"

"Tahu nggak sih dia keren banget waktu mengusir para perundungku," jelasnya. "Oiya, tentang undangan makan malamnya aku pasti dateng, tapi sekarang aku harus pergi ... ada acara seminar hari ini."

"Arga!" teriakku menghentikan langkahnya. "Thanks udah selametin Rio lagi."

Arga berjalan mendekatiku, dia berhenti lalu tersenyum. Aku melirik ke arah tangannya yang kini berada di pundakku menepuk-nepuknya dengan pelan. "Aku juga berhutang banyak sama kamu, saatnya aku membalas semua kebaikan kamu dulu."

Aku hanya tersenyum.

"Om, makasih ya udah obatin luka Rio, plesternya lucu banget."

"Pinternya Rio, Mama ajarin Rio ya kalau udah dibantu bilang makasih? Nggemesin banget, sih." Arga mencubit pelan pipi Rio. "Mana gemoy pula, tapi Rio kurang-kurangin minum soda, ya?"

"Kenapa Om dokter, kan enak dan nyegerin."

"Iya, tapi kandungan gula banyak, gigi Rio bisa cepet rusak, perut Rio nggak enak. Hm masih banyak lagi, nanti Om dokter kasih tahu lagi pas main ke tempat Rio ya. Sekarang Om mau pergi dulu ada acara."

Rio mengangguk.

"Ma, nanti beliin plester dino kayak Om ya?" kata Rio menarik-narik bajuku.

"Nanti Om bawain plester dino juga buat Rio ya. Dadah, Rio."

"Dadah, Om dokter baik."

"Hati-hati, ya, Ga."

"Ga?" gumam Arya. "Ga?"

"Kamu tuh kenapa sih Mas? Aneh banget deh."

"Semalam kamu tuh ngigo terus Ga, Ga. Arga?" Kedua alis tebalnya menukik tajam.

"Mas, plis deh! Kita baru melewati masa-masa yang buruk gara-gara kita berdebat terus."

"Tapi bener Ga itu Arga?"

"Mana aku tahu, Mas! Aku kan tidur."

Is There a Second Chance for Us?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang