"Kurang ajar benar kamu, Mas!" Aku berusaha keras menahan gejolak yang melembak dalam dada. Mengingat lokasi keberadaanku sekarang, berada di antara orang-orang yang berkerumun menikmati kue-kue di hadapan mereka. Senyum ramah, tawa akrab, dan kehangatan mereka yang membuatku iri bukan main.
Firasatku tak enak sejak tadi, parahnya hal itu terbukti! Sudah berjam-jam aku menunggunya di Rain's Bakery, Arya tidak datang juga. Suami yang tidak bisa diandalkan! Tidak bisa dipercaya, tidak bisa dikasih hati. Dia sendiri yang berjanji akan menjemputku di sini setelah membeli beberapa kue untuk Rio. Meskipun bukan pertama kali, aku mendengkus kesal. Bisa-bisanya dia sampai lalai seperti itu.
"Berengsek," umpatku setelah aku mencoba menghubunginya. Namun, nihil! Entah sudah berapa puluh kali aku menelepon Arya. Dia lelaki yang sangat menjengkelkan.
Semua rencana manis yang disusun dengan susah payah terpaksa batal. Padahal dia sudah tahu mencari momen seperti ini tidak semudah dulu. Ke mana Arya pergi jam segini? Aku ingin merayakan kenaikan jabatan dengannya. Setidaknya, makan malam berdua di luar setelah membeli kue. Hal yang sudah lama tidak kami lakukan bersama-sama. Kesibukan masing-masing telah menyerap segala kemanisan di dalam rumah. Hanya menyisakan ampas. Ya ... ampas!
Aku tahu, pertengkaran beberapa hari yang lalu bukan hal sepele. Mungkin saja harga dirinya sebagai suami pun terluka. Namun, apa yang bisa kulakukan? Aku tak punya pilihan lain. Kebutuhan Rio semakin hari semakin membengkak. Sedangkan keadaan ekonomi terus saja memburuk. Kalau berhenti bekerja sejak kemarin, aku tidak akan ada di posisi ini. Posisi yang kuimpikan, kepala bagian credit analyst. Kuhela napas panjang untuk mengurai kesesakan yang kian menggepit. Ketakutan-ketakutan mulai merasuk tulang rusuk, rasanya nyeri sekali membayangkan Arya dan kelakuan-kelakuannya semakin merajalela.
Sesuatu yang diawali dengan cara yang tidak baik akankah berakhir dengan baik? Aku semakin tergugu. Tidak bisakah semuanya berubah? Ataukah happily ever after hanya ada dalam dongeng dan novel romansa saja. Aku pun ingin merasakannya, apa bisa? Mengingat caraku mendapatkan Arya saja begitu. Ahhh ....
"Ada yang bisa kubantu?" tepukan pelan di pundak membuatku terperanjat. Aku yang menyembunyikan wajah di balik lengan seketika mendongak. Seketika kecewa harus kutelan, bukan Arya yang datang. Lagi pula sejak kapan suara Arya bisa selembut itu?
Lelaki berkulit gelap di hadapanku tersenyum ramah. Aku mencoba mengumpulkan ingatan di antara memori yang bertumpuk. Aku yakin pernah mengenalnya di suatu tempat. Wajah itu sangat tidak asing. Mata hitamnya penuh cerita.
"Loh, Amyra Ranuella Inaranti rupanya?" Sampai lelaki berkemeja hitam menyebut nama lengkapku, aku belum berhasil mengingatnya dengan sempurna. Lelaki ini mudah sekali tersenyum. Saat tersenyum, lesung pipi bertengger di wajahnya. Lelaki ini fasih melafalkan nama lengkapku saat Arga sendiri tidak bisa mengingatnya dengan utuh. Kadang Ranuella dia ucapkan Ranela, Inaranti menjadi Inayanti. Dititik ini jujur aku tersentuh dengan orang asing ini. "Loh, kok melamun. Lupa sama aku, ya? Aku Arga loh."
"Astaga, Arga? Sekarang sudah jadi dokter? Luar biasa!" pekikku saat benar-benar mengingatnya. "Sekarang sudah banyak berubah, ya?"
"Biasa aja, kok."
Lelaki itu tertawa lebar. Dia menarik kursi di depanku dan meletakkan snelli ke punggung kursi sebelum mendudukinya. Ini pertemuan pertama kami setelah bertahun-tahun lamanya. Kacamata kuda yang biasa membingkai wajahnya sudah tidak lagi berada di sana. Rambut hitam kelimis seperti terkena tumpahan minyak pun berganti model kekinian yang menguarkan aroma pomade lembut. Singkatnya, Arga yang sekarang jauh lebih modis dan tampan dari yang terakhir kali aku ingat. Ralat, Arga bahkan sangat tampan! Lihat sepasang alis tebal yang bertakhta di wajahnya memikat, bukan? Gelar dokter membuat wibawa Arga keluar. Jangan tanya betapa bahagianya aku bisa bertemu dengannya lagi. Mantan terindah!
KAMU SEDANG MEMBACA
Is There a Second Chance for Us?
RomansaSatu per satu masalah datang beruntun menghantam hubungan Amyra dan Arya. Pernikahan yang dibangun di atas pondasi yang rapuh pun tak kuat menghadapi goncangan demi goncangan. Kehadiran orang ketiga semakin memperburuk keadaan. Terlalu banyak retaka...