Selamat membaca!
⋆.ೃ࿔*:・
Hiruk pikuk muda mudi bergerak tanpa aturan menjadi pemandangan Mingyu malam ini. Entah apa yang merasukinya sehingga ia memutuskan mendatangi tempat yang paling ia hindari. Sebagai aparat tentu saja ia tahu larangan mendatangi tempat ini, namun sialnya otaknya yang sedang sakit ini membawanya mencoba sensasi minuman panas yang kini tengah ia pegang.
Rasa terbakar di kerongkongannya tak menghentikan Mingyu menenggak satu gelas alkohol yang baru saja ia pesan. Total sudah 5 gelas ia habiskan, tentu saja bagi seorang pemula seperti Mingyu hal ini bukanlah sesuatu yang baik. Karena sekarang lelaki itu tampak sempoyongan seraya berkali-kali meminta bartender menuangkan kembali minuman tersebut ke gelasnya.
"Please, one more."
Bartender tersebut tampak ragu menuangkan minuman itu lagi. Ia jelas tahu bahwa lelaki di depannya bukanlah pelanggan tetap disini, nampaknya ini kali pertama bagi lelaki itu menyentuh minuman tersebut.
"Maaf tuan, sepertinya anda terlalu mabuk. Anda punya kontak yang bisa dihubungi?"
Mingyu terdiam, tangannya mengambil ponsel dari sakunya. Sesaat ia mengetikan nama seseorang sebelum terhenti.
"Sial, bagaimana bisa aku mengetik nama perempuan itu." Jarinya mengambang ketika hampir saja menelpon Irena.
Mingyu meletakkan handphone kasar di atas meja, menelungkupkan kepalanya tanpa tenaga. Hirau musik yang terus bergema seakan tak memberi efek baginya. Rasanya seluruh kebisingan disekitarnya tak bisa meramaikan hatinya yang kini tengah hancur. Semuanya tampak kelabu dimatanya.
Bagaimana bisa gadis yang ia cintai mati-matian menyakitinya sejauh ini. Mingyu tak masalah jika ia yang disakiti, namun kedua orang tuanya. Bagaimana ia mengatakan kepada Ayah dan Bundanya. Disaat semua persiapan telah selesai bahkan undangan sudah di sebar. Bagaimana Mingyu menghadapi hari esok kalau semuanya tampak hancur dimatanya.
Tengah asik melamun, ia dikejutkan dengan suara telepon masuk. Badannya yang awalnya lemas pun menjadi tegang karena takut sang Ibunda lah yang menghubunginya.
Layar ponselnya menampilkan "Lipiut" sebagai pemanggil. Sontak lelaki segera mengangkatnya.
"Halo, Kiming?"
"Hm?"
"Eh kok rame banget sih suaranya. Lo dimana? Lagi karaoke ya?"
"Nggak."
"Terus?"
Mingyu terdiam. sementara Livia di seberang sana juga samar-samar menebak asal suara ramai yang ia dengar. Suaranya seperti musik disko yang ia tonton di film saat scene clubbing. "Lo clubbing ya?"
"Liv, lo kenapa nelpon?"
"Oh itu tadi pihak butik ngehubungin gue, btw waktu itu kan lo ninggalin nomor gue disana. Katanya mereka hubungin lo cuman gak diangkat, mereka nanya kalian bisa ke butik gak dalam minggu ini buat fitting terakhir. Takutnya nanti kegedean/kekecilan gitu, kan biasanya calon pengantin bakal nurun ya bb nya. Iya kali ya, gue gak paham juga sih."
"Liv."
"Hm?"
"Jemput gue di AW ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Choice
RomansaHidup Mingyu yang tenang seketika runtuh ketika Irena memutuskan membatalkan pernikahan mereka yang sudah didepan mata. Mingyu jelas kalut dan kecewa. Disisi lain, Livia yang sudah bersahabat dengannya selama 20 tahun ternyata memendam rasa tanpa ia...