9▪︎ The Last Piece (pt.3)

173 30 9
                                    

POV Winziel Raegan

Aku mengetuk beberapa kali pintu kayu jati yang ada didepanku, berharap seseorang membukakannya untukku. Bau kayu tua dan barang-barang antik membuatku bernostalgia. Tempat ini masih ada, kenangan dimana aku dan Kiera masih terasa lekat disetiap inci bangunan tua ini.

"Permisi.." aku kembali mengetuk pintu kayu jati itu dengan lebih tidak sabar, seperti perasaanku yang sudah tidak ingin bermain petak umpet lagi dengan game yang Kiera buat. Tak lama kemudian pintu itu terbuka, wajah familiar membuatku dengan cepat membukakan tanganku untuk memeluknya.

"Om jaka!" Kataku memeluknya langsung tanpa ada jeda, menyadari siapa yang memeluknya om Jaka membalas pelukanku. "Winziel, lama sekali kamu pulang" serunya sambil menepuk pundakku pelan. Tubuhnya sekarang lebih ringkuh, rambutnya semua sudah putih, dan keriput diwajahnya pun mulai terlihat. Tapi tentunya tidak menelan ketampanan om Jaka sedari dulu.

Aku menyudahi pelukan kami, aku memegang tangan om Jaka yang sudah mulai keriput. Tersenyum lega bahwa om Jaka masih sehat dan sentosa "Maaf yaa om. Ziel baru bisa kesini lagi, terakhirkan pas ziel pamit mau ke Italy" Om Jaka pun mengelus tanganku, memberikanku senyuman tulus.

"Gapapa, cuma ngerasa sepi aja ga ada yang bantu om jaga toko lagi. Sekarang toko udah tutup, anak om yang gantiin jualan di onlen. Om ga ngerti.." aku tertawa, menghembuskan nafas lega bahwa toko om Jaka masih beroperasi bahkan sudah ada penerusnya. "Iya om,  aku lega om sehat"

"Om juga lega kamu makin gendutan, ga harus dimarahin Kie dulu buat makan" mendengar nama panggilan Kiera, senyum ku berubah menjadi sendu. "Om aku-" belum selesai mengucapkan kata, om Jaka menyuruhku duduk didalam rumahnya. "Duduk dulu, sambil minum teh. Setelahnya kita bisa bicarain tentang Kie" seakan membaca pikiranku Om Jaka mendorong tubuhku pelan untuk masuk.

Karena tidak enak, aku mengiyakannya. Disinilah kami berada di ruang tamu, tempat favorite Kie tidur dan aku yang mengerjakan tugas-tugas kuliahku. Sofa dan bahkan mejanya pun masih sama tidak ada yang berubah, cuma yang berubah adalah beberapa tanaman hidup menghiasi ruang tamu ini.

"Kangen om, sama suasana rumah ini" aku meminum teh yang barusan disajikan untukku. "Kalian dulu nakal minta ampun, bolos dari kuliah kesini, habis ke club malah nginep disini. Harusnya dulu om minta uang listrik" aku tertawa kencang, canda om Jaka memang tidak pernah berubah.

"Makasih ya om selalu bukain pintu buat kami" om Jaka hanya tersenyum "om udah anggap kalian kayak anak om, om tau Kie pergi dan gak pamit sama kamu. Bahkan dia juga ga pamit sama om" aku terdiam menyimak kata demi kata yang Om Jaka katakan.

"Ayahnya jaminin rumah mereka buat judi, dan kalah total. Alhasil suka pukulin mamanya sama Kiera. Om tau ini karena Kiera sering datang tengah malem dengan badan biru-biru. Om udah suruh Kiera laporin ke polisi tapi kiera bilang mamanya masih tergantungan dengan laki-laki brengsek itu" tanganku kembali dingin, mendengar cerita Kiera dari sudut pandang baru membuat hatiku makin sakit.

"Jangan merasa bersalah ya ziel, Kie ga kasih tau kamu karena memang dia tidak mau kamu tau. Dia menyuruh om juga untuk rahasiain ini" aku menghela nafas berat, kenapa? Dia tidak pernah memperlihatkan lukanya?

Hatiku seperti ditikam berulang kali, bagaimana bisa aku tidak tau apa yang menganggu orang yang aku cintai? "Aku cuma ga ngerti om, kenapa dia rahasiain ini semua. Dia bahkan ngasih aku teka-teki buat nyari clue tentang dirinya" Om jaka melihatku dengan wajah prihatin.

"Karena dia cinta sama kamu Ziel, dia mau kamu perjuangin dirinya. Memang egois anak itu, tapi kamu tau itu kan?" Ya.. bukan Kiera namanya kalau tidak membuatku pusing. "iya om, aku- aku tau om ke Bali ketemu dia. Besok pagi aku berangkat ke Bali om. Aku harus tau dia dimana?"

My Muse And Her Mystery - Jiminjeong/ WinrinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang