"Jangan berlebihan, dia adik iparmu," tegur Yasmin. "Hanin juga tidak nyaman," sambung ibu empat anak tersebut.
Eshan Rayyan, putra pertama Yasmin dengan Argan telah tumbuh dewasa. Menempuh pendidikan di luar negeri hingga melajang dengan alasan tuntutan pekerjaan lebih dari sepuluh tahun usai belajar di negeri orang.
"Di mananya yang berlebihan," kata pria itu dengan raut datar seperti biasa. "Berpapasan dengannya mungkinkah aku tidak menyapa?"
Berbeda dengan Daniyal, adik yang melangkahinya lebih dulu namun bernasib sial.
"Lagi hamil juga, kasian," tambah Eshan lagi.
Maut yang menimpa adiknya yang seorang pelayar tak bisa dihindari, keluarga bersyukur karena bisa melihat jasad hingga mengurus jenazahnya karena Daniyal meninggal saat kapal berpulang.
Baru hitungan hari kepulangan adiknya kepangkuan ilahi, Eshan satu-satunya orang yang tidak melihat wajah sang adik di menit terakhir sebelum dimasukkan ke liang lahat. Ia tiba 48 jam setelah pemakaman. Walaupun lama tidak bertemu pria itu tidak melupakan wajah sang adik.
Kediaman Argan dan Yasmin sedang berduka, anak ketiga mereka berpulang saat menjalankan tugas, yang paling menyesakkan adalah almarhum meninggalkan seorang istri yang tengah hamil Hanin Haynina, wanita yang dipersunting dua tahun yang lalu dan baru diberi amanah buah cintanya dengan almarhum dengan usia kandungan tiga bulan.
Kebetulan rumah yang ditempati Hanin dan almarhum tepat di samping rumah orangtuanya, jadi tamu yang datang melayat kedua tempat sekaligus.
Menginjakkan kaki ke rumah almarhum adiknya bukan untuk melihat si adik ipar, karena dia baru pulang dan paman dari pihak ayah maupun ibu ingin menemuinya. Kebetulan mereka melayat ke rumah itu jadinya Eshan yang ke sana.
Tentang teguran ibu tidak begitu dipikirkan karena Eshan tidak merasa melakukan kesalahan. Sapaannya juga biasa saja, misalnya seperti sekarang ketika dia bangun membawa nampan teh yang telah kosong ke belakang dan tak sengaja berpapasan dengan si adik ipar.
"Ada orang di belakang?"
Hanin mengangguk, wanita muda itu ingin mengambil nampan yang berisi gelas kosong dari tangan Eshan.
"Aku akan membawanya ke belakang, istirahatlah."
Hanin tidak menjawab lagi dan membiarkan laki-laki itu membawa nampan ke belakang, mata yang masih sembab dan wajah yang kapan akan kembali raut ceria itu menyambut tamu yang masuk.
Ada orang tuanya di rumah itu sedangkan mertua di rumah sebelah karena di sana juga ada tamu yang melayat.
"Istirahat dulu," titah mamanya mengusap lembut bahu putri sulungnya. Jangan lupa, kondisimu juga lemah."
Iya, Hanin merasa tubuhnya tak lagi kuat. Ia tak menyangka, Tuhan mengujinya saat dia sedang hamil, cobaan yang sangat berat dihadapi wanita itu.
"Ternyata di sini."
Hanin menoleh mendengar suara kakak iparnya. "Kenapa mba Naya?"
"Ini, mertua Mba mau salaman."
Hanin tidak begitu mengenal mertua Naya karena hanya bertemu satu kali dengan keluarga besar almarhum suaminya ketika resepsi pernikahan.
"Yang sabar ya, kami tahu ujian ini berat."
Bahkan pelukan dan support banyak orang tak membuat keadaannya baik, Hanin memaklumi luka yang dirasakannya sekarang. Kehilangan seseorang yang begitu dicintai di saat seperti ini tidaklah mudah, namun dia meyakinkan diri untuk tetap kuat demi kandungannya.