Cerita lengkap sudah tamat di PDF
.
.Sarapan pagi masih ditemani mama, Hanin merasa semakin membaik dan mulai belajar merelakan tanpa lupa pada sosok almarhum, dengan begini hatinya lebih damai.
"Eshan udah balik," kata mama Sarah memecahkan keheningan pagi itu. Beberapa jam lalu Eshan terbang, kembali ke luar negeri melanjutkan pekerjaannya.
Hanin merespons dengan sorotnya. Lalu mama Sarah melanjutkan, "Hanin, bagaimana pendapatmu tentang Eshan."
"Nggak gimana-gimana." Hanin menjawab tanpa berpikir, ia memang tidak sedang memikirkan laki-laki itu.
Mama Sarah tak ingin memutuskan apa yang sedang dibahas. "Dia baik, sama seperti almarhum. Perhatian juga."
Semua anak ibu baik, jawab Hanin dalam hati.
"Jarang ada saudara sebaik juga sepeduli itu pada adik iparnya, kan?"
Banyak, jawab Hanin dalam hati.
"Mama suka, kamu nggak?"
Kepala Hanin masih tertunduk dengan mata fokus pada isi piringnya. "Nggak."
"Dia juga tampan, walaupun itu tidak penting tapi setidaknya dia laki-laki sejati."
"Jangan berlebihan Ma." Hanin tidak suka mamanya terlalu lebay menilai orang lain. Ia tidak tahu, bagi mama yang penting bicara membahas Eshan agar ikut dipikirkan Hanin.
"Mama melihat baiknya dia, saat kamu di rumah sakit. Dia seperti menggantikan sosok almarhum."
"Tidak ada yang bisa menggantikan beliau, tidak ada siapapun." Hanin menegaskan walaupun dengan suara rendah.
Mama menarik napas dalam, beliau takut salah bicara apalagi menyinggung perasaan putrinya.
"Maksud Mama, Eshan mengerti keadaan juga kepentinganmu."
Bagi Hanin sikap Eshan malah mengganggu, ia tak menyukainya.
"Katanya kalau punya istri nanti dia kembali."
"Kenapa Mama bahas dia terus?" Hanin mulai curiga.
"Suka aja, awalnya kaya cuek kirain sombong, padahal memang bawaannya seperti itu."
Hanin tidak penasaran hanya tidak suka, jangan sampai mama melakukan apa yang ada di kepalanya sekarang.
"Kalau orang baik memang kelihatan. O iya, Eshan juga berwibawa."
Kan, mama terlalu berlebihan. Hanin segera menyelesaikan sarapannya, terlalu risih dengan bahasan mama.
"Hanin," panggil mama Sarah ketika putrinya bangun hendak keluar dari ruang makan.
Hanin menoleh.
"Kamu tidak mau mempertimbangkan?"
Hanin merasa mamanya terlalu percaya diri juga yakin dirinya bisa menjalani kehidupan baru dengan laki-laki lain. Padahal sampai detik ini hanya ada nama almarhum di hatinya, tidak ada sedikitpun niatan membuka hati untuk pria lain.