Jika beberapa waktu lalu Hanin seorang diri mengunjungi makam almarhum suaminya maka sekarang Eshan pergi bersamanya. Bukan mereka berdua, ikut serta ibu dan papa mertua.
Doa telah diaminkan, taburan bunga segar juga sudah ditaburkan, ibu dan papa menunggu di mobil sementara menunggu Hanin selesai. Tidak jauh dari rumah tapi karena keadaan Hanin sedang hamil dan belum sehat betul mereka pergi menggunakan mobil.
"Di mana kalian bertemu?" tanya itu terlewat selama dua tahun ini, Eshan yang tidak kepo ketika orang tua mengabari pernikahan adiknya kala itu.
Hanin tidak ingin berinteraksi dengan kakak almarhum suaminya, tapi dia tidak bisa menghindarinya juga lantaran ada saja tanya si lelaki itu.
"Tempat kursus." singkat jawaban tersebut.
"Seperti apa?"
Apakah satu jawaban lagi pria itu akan berhenti menanyainya? "Jahit."
"Kamu atau Danial yang lebih dulu suka?"
Suasana hati yang tadinya tengah khidmat melanjutkan doa terbaik untuk sang suami seketika berubah saat pria itu bersuara lagi. Ternyata belum berakhir, batin wanita itu. Tapi Hanin memilih tidak menjawab tanya tersebut.
"Aku melihat bingkai pesta pernikahan kalian." tentunya menggantung di dinding rumah orang tuanya juga kediaman Hanin sendiri. "Sepertinya saling suka," kata pria itu.
Eshan melihat makam adiknya, cepat sekali Danial berpulang sementara mereka belum sempat mengobrol. Sekalinya ditelpon ibu, Eshan diberitahu akan menikah dengan wanita yang telah dikenalinya satu tahun belakang.
Eshan juga merasa kehilangan apalagi mereka bersaudara, tapi bagi Hanin ini pasti kehilangan yang besar dalam hidupnya. "Kata ibu tak ada tanda-tanda kepergiannya, kamu juga tidak merasakannya?"
Hanin menggeleng. Gara-gara Eshan doanya terputus-putus. Tak sadar Hanin membatin, "Mas, saudaramu ternyata cerewet ya?"
"Aku juga tidak," gumam Eshan. "Mungkin dia tidak mau orang mengenangnya terlalu lama. Tapi mana mungkin kami melupakannya."
Hanin kembali larut dalam doanya tak lagi menanggapi ucapan Eshan. Begini saja, rindunya tak lekang apalagi pulang ke rumah rasanya jarak mereka begitu jauh. Ada raga yang ingin didekap, bahu tempat bersandar dan hati yang saling merasa. Tidak mungkin lagi ya Mas, batin wanita itu lagi.
Isaknya tergugu, 30 hari kepergian sang suami sakitnya masih terasa. Hanin tidak yakin apakah dia akan kuat ke depannya? Reflek ia menyentuh perut, demi dia aku harus kuat, demi anak kita Mas.
Menyadari kalau wanita itu menangis Eshan yang tadinya berdiri kini sedikit membungkuk, ia tak risih dengan posisi sedekat itu dengan Hanin lalu pria itu berbisik, "Enggak kasian sama Danial, kalau rindu cukup doain jangan ditangisin."
Karena suara itu terlalu dekat Hanin ingin menoleh tapi gerakannya terhenti saat pelipisnya menyentuh sesuatu, sontak dia terkejut dan kembali memalingkan wajah ke makam sang suami.
“Pulang yuk, udah mendung.” bukan hanya mengajak, pria itu menyentuh lengan Hanin dengan maksud membantu wanita tersebut untuk berdiri.
"Tolong hargai aku sebagai adik iparmu, aku tidak suka dengan sikap Mas."
Suara itu tidak keras dan tidak dengan nada membentak tapi cukup mengejutkan Eshan. Tatapan dan raut Hanin cukup dingin, wanita itu sedang marah. Lalu apa maksud wanita itu, sikap mana yang salah?