6

320 61 1
                                    

 Yasmin sedang berunding dengan putra sulungnya terkait rencana Eshan yang akan kembali ke luar negeri akhir pekan nanti. Baik dirinya maupun sang suami ingin Eshan menetap di tanah air, di sini dia dibutuhkan jadi untuk apa ke sana lagi?

"Diusia tua papa masih kerja, kamu satu-satunya harapan beliau."

"Bukan sekarang Bu."

Yasmin bicara lagi. "Kembali ke sana dan berkutat lagi dengan pekerjaan, kamu tidak berencana menikah?"

Eshan tersenyum. "Yang mau dibahas sebenarnya apa Bu?"

"Dua-duanya dan itu berhubungan."

"Aku akan menikah tapi belum tau kapan, tinggal di sana lebih nyaman. Pekerjaan juga sudah cocok."

"Dengan kata lain kamu membiarkan kami seperti ini?"

Eshan memilih menempuh pendidikan dan pekerja di luar negeri, lalu almarhum Danial saat itu berprofesi sebagai pelayar, si bungsu Rafika sibuk dengan magang. Untung ada Hanin, sang menantu yang mau tinggal dekat dengan mereka.

"Sebentar lagi Rafika selesai magang, ajak ke kantor."

"Dia wanita, paling lama setahun lagi sudah dilamar seperti mba Naya."

Eshan menggaruk pelipisnya, kenapa sih pada mau cepat-cepat nikah? Begitu mudah jalan masuk jodoh adik-adiknya?

"Dia bilang begitu?"

"Nadhir sudah ke sini, silaturahmi. Arahnya kan ke sana." Yasmin lupa kalau putranya tidak tahu bahwa Rafika punya pacar. "Itu, pacar adikmu. Kalau kamu masih lama di sini pasti ketemu."

Eshan mengangguk. "Kapan-kapan saja."

"Enggak mau dipikir dulu?" tanya Yasmin kembali ke topik semula. "Kamu tidak pernah pulang, ibu dan Papa yang harus ke sana. Coba kamu ingat terakhir kali kapan melihat almarhum adikmu?"

Lama tidak bertemu bukan berarti laki-laki itu melupakan adiknya, ia masih ingat wajah dan rupa almarhum walaupun jarang berkomunikasi.

Tidak kembali ke tanah air karena lebih betah dan nyaman di sana, Eshan belum berpikir untuk berkarir di sini.

Pembicaraan itu terhenti ketika mereka mendengar suara Hanin.

"Mama di sini Bu?"

Melihat raut menantunya Yasmin segera bangun. "Tidak, kamu kenapa?"

Hanin melirik ke arah Eshan yang masih duduk di sofa ruang tengah tersebut. Saat di kamar mandi tadi ia melihat darah mengalir di paha, karena takut dia memanggil ibunya tapi beliau tidak juga menjawab karena itu Hanin ke sini.

"Perutku mules," jawab wanita itu tak memberitahu tentang darah yang dilihatnya tadi. Ia juga tidak tahu apakah darah itu masih keluar hingga terdengar suara Eshan.

"Itu....darah," seru pria itu dengan suara tertahan.

Yasmin melihat ke bawah dan benar ada darah. 

"Kita ke rumah sakit sekarang," kata Yasmin lalu menyuruh Eshan menyiapkan mobil.

Hanin tidak pusing hanya perut yang semakin mulas, pinggangnya juga ngilu.

Yasmin memanggil bibi sambil menuntun Hanin untuk duduk tapi Hanin menolak karena takut darahnya terkena sofa. 

"Iya Bu?"

"Telepon bapak, suruh ke rumah sakit. Ibu ke sana sama Hanin. Oh iya bilang sama mama Sarah bawain keperluan Hanin.

Bibi mengangguk.

Ipar Sayang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang