Penolakan

3 1 0
                                    

Happy reading

Kamila sedang mengerjakan laporan hasil kerja peserta didiknya, mulai dinilai guna menanggu- langi yang namanya tahu bulat digoreng dadakan anget-anget. Suatu pekerjaan memang tidak boleh ditunda, bukan? Pintu kamar terbuka lebar menampilkan Bara yang sudah menjulang tinggi berdiri di ambang pintu.

"Ada apa, Dik? Perasaan baru kemarin kamu ngintilin Mbak mulu kayak belut, eh sekarang sudah besar aja," ucap Kamila kagum dengan perubahan adiknya selama beberapa tahun tidak bertemu, namun sambil menatap fokus ke layar laptopnya.

"Tinggi itu ke atas, memangnya Mbak Mila, ke atas enggak ke samping apa lagi," sindir Bara.

Kamila berdesis mendengarnya. Ia melempar boneka kodok tepat di wajah sang adik. Mendapat perlakuan seperti itu, Bara malah cengengesan. Ia pun masuk dan melayangkan tubuhnya ke kasur empuk milik sang kakak lalu asyik bermain game lewat ponselnya, sedangkan Kamila kembali fokus dengan layar laptopnya.

"Oh iya, tadi Mbak dipanggil Aba, katanya ditunggu di ruang tengah."

Mendengar nama Aba disebut, Kamila mulai was-was. Ia pun segera melirik ke arah adiknya. Ia bahkan tidak jadi menekan tombol number, jari tangannya melayang di atas keyboard.

"Ngapain?"

Bara yang mengangkat bahunya acuh lalu melanjutkan permainan game-nya kembali.

Kamila mengangguk mengerti. Ia meng-klik tanda save agar file tersimpan, lalu ia pun memencet tanda sleep, mungkin sesudah menemui Aba yang selalu benar itu, ia akan melanjutkan pekerjaannya. Kamila menuntun tumbuhnya yang seakan tak punya daya, untuk menuju tempat keberadaan Aba yang sedang menonton sinetron kesukaan, yaitu Tukang Bubur Naik Haji. Ia lalu duduk di sofa memperhatikan Umi yang sedang memijat punggung suaminya.

"Mesra sekali Umi dan Aba. Kalau gini 'kan, lihatnya senang."

Terkadang mereka berdebat karena dirinya yang menolak pinangan orang lain, dan ujungnya Umi dan Aba akan berbeda pendapat. Hal ini sering kali membuat Kamila merasa bersalah. Jika dirinya punya pacar, pasti tidak akan begini. Sayangnya, ia memiliki moto 'single sampai halal'. Intinya dirinya tidak ingin menciptakan hubungan sebelum pernikahan.

"Aba, kenapa panggil Mila?" Umi menghentikan aktivitasnya, Aba mengambil ponselnya.

"Buka hp-mu."

Kamila membuka ponselnya yang memang ia gantung- kan di leher. Sudah ada pesan dari Aba berisi nomor baru yang bertuliskan Syamsul.

"Itu nama anak teman Aba. Kamu kenalan dulu, saling ngobrol, nanti kalau sudah cocok, Aba pertemukan kalian."

Kamila berucap rasa syukur. "Alhamdulillah perkenalan dulu bukan langsung ketemu."

"Dicoba dulu ya, Nduk, jangan langsung ditolak seperti sebelumnya."

Kamila mengangguk patuh mendengar ujaran Umi.

"Kalau yang ini kamu tolak, Aba sudah nyerah. Terserah kamu saja. Aba sudah nyerah dengan watak keras kepalamu," pungkasnya dengan nada ketegasan di setiap kata yang terlontar. Kamila mengangguk patuh mendengarnya. "Apa harus sebegininya?"

"Iya, Aba, Kamila pamit ke kamar dulu."

Kamila berjalan lunglai menuju kamarnya, sepertinya ia akan tidur lebih awal dan tidak melanjutkan pekerjaannya merekap nilai. Memantapkan hati lebih susah daripada menentukan tanggal pernikahan. Kamila mulai sadar, apa mungkin dirinya belum siap? Setiap ia akan dijodohkan, pasti hatinya akan resah dan bimbang. Susah sekali memantapkan hati. Ia menghadap langit-langit kamar dengan merenungi di setiap perjalanannya. Menolak-ditolak itu sudah sering ia dapati. Seharusnya, seorang wanita tak boleh seperti itu. Pantas saja fitnah di sekitar kompleks tetangga diakibatkan oleh dirinya sendiri.

Kapan NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang