36. Saksi Maya

592 124 10
                                    

Part 36 Saksi Mata

Eiza mempertahankan kepalanya tetap tertunduk, menyembunyikan wajahnya yang sepucat mayat dari pandangan Marco.

"Kau mengenalinya, kan?"

menelan ludahnya. Memastikan ekspresi wajahnya terpasang dengan baik sebelum bergerak terangkat. "Tidak." jawabnya tanpa getaran sedikit pun dalam suaranya.

Marco terdiam. Menatap lekat ketenangan yang berusaha dipaksakan di raut wanita itu.

"Bagaimana mungkin aku mengenalinya, Marco?" Suara Eiza keluar lebih lancar dari yang diharapkannya, meski hatinya dipenuhi dengan keraguan dan ketidak yakinan yang semakin bertumpuk. "Saat itu langkahku hanya terhenti dan terkejut oleh Marcuss."

Marco masih terdiam. Seberapa pun kerasnya Eiza berusaha menutupi kebohongan tersebut. Eiza memang terlalu polos untuk dikelabui keluarga licik tersebut.

"Baiklah. Kau bisa mengatakan padaku jika kau berubah pikiran," ucap Marco kemudian. Melengkungkan seulas senyum tulus untuk Eiza sebelum berdiri dari duduknya. "Dan aku bertanya bukan karena aku tak tahu siapa pelakunya, Eiza. Mungkin kau butuh waktu untuk mencerna semua ini dengan pikiran dan perasaan yang lebih baik. Dan aku tak akan memberitahu Marcuss. Tentang pembicaraan ini."

Eiza masih tercenung di tempat duduknya untuk waktu yang cukup lama sejak Marco menghilang dari pandangannya.

Tentu saja ia tahu apa maksud kata-kata yang diucapkan Marco. Pria itu tahu jawabannya adalah sebuah kebohongan.

***

Tak ada keraguan bahwa pria yang berpakaian serba hitam itu adalah Danen. Pria itu sempat membuka masker hitamnya tepat ketika ia mempertajam penglihatannya.

Namun, Eiza masih tak bisa mempercayai bahwa Danen adalah pelaku yang membuat Marcuss koma selama dua hari.

Bagaimana mungkin Danen mampu melakukan hal sekejam ini? Berniat membunuh Marcuss dan dirinya. Dan … desain itu. Danen memang mengakui bahwa pria itulah yang telah mencuri dari Marcuss.

Kepala Eiza benar-benar dibuat pusing dengan semua kejadian mengejutkan ini. Seolah belum cukup kepelikan yang datang di hidupnya. Menciptakan kebingungan yang seolah semakin menyesatkannya.

Sekarang, ia benar-benar tak tahu siapa yang harus dipercayanya. Danen? Marcuss?

Mata Eiza terpejam. Tubuhnya jatuh terduduk di lantai dengan punggung menempel di balik pintu. Kedua lengannya memeluk kedua lututnya yang meringkuk. Menenggelamkan wajahnya di sana dan terisak pelan.

'Terkadang, orang yang paling kau percayailah yang akan menusukmu dari belakang. Dia akan memelukmu dengan sangat erat, hanya untuk menusukmu lebih dalam.'

Sekilas kata-kata Marcuss muncul di benaknya. Kepercayaannya terhadap Danen runtuh seketika. Bersamaan dengan pisau yang menghujam dadanya. Begitu dalam dan meyakitkan.

***

"Nyonya, tuan tidak mengijinkan Anda untuk keluar dari rumah sampai tuan kembali." Untuk ketiga kalinya pengawal Marcuss mencoba memberi pengertian Eiza yang ingin keluar dari rumah pada siang itu. Bahkan sudah muncul tepat di depan pintu ketika Eiza menginjakkan kaki melewati pintu. Tak mengijinkan sang nyonya menuruni undakan di depan teras.

"Kau berani melarangku?" sengit Eiza ketika salah satu pengawal berhasil menahan lengannya. "Lepaskan!"

"Tuan meminta kami menyeret Nyonya jika Nyonya tak bisa …"

"Lepaskan!" jerit Eiza. Menarik kedua lengannya dari cekalan para pengawal tersebut, yang hampir berhasil membawanya masuk ke dalam rumah. "Lepaskn aku! Kalian tak berhak melarangku. Begitu pun dengan Marcuss."

Billionaire's LustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang