4. Tamparan dan Hukuman

122 3 1
                                    

Mengingat kejadian tadi hatinya berdenyut sakit. Luka di telapak tangan dan lutut nya tidak membuat kekhawatiran, bahkan luka goresan terdapat di pipinya tidak membuatnya diutamakan.

Tidak bukannya ingin diutamakan atau menjadi yang utama hanya saja waktu dirinya terluka tidak ada yang menoleh kearahnya.

Mereka sibuk memarahinya. Mereka takut anaknya terluka, takut Vina terluka. "Lo tuh nggak bisa jalan apa gimana hah, Lo gak bisa gunain mata Lo hah. Mata itu dipake nggak cuman dipelihara doang," sentak Gavin.

Gavin ikut memeriksa Vina bersama orang tuanya. Takut terjadi luka yang parah. Bahkan Fery sudah menatap tajam Bella. "Kamu sengaja?" Geraman Fery.

Bella menggelengkan kepalanya. "Aku nggak sengaja ayah," cicit Bella.

"Nggak usah ngelak anjing," sahut Gavin.

"Sekali lagi lo bikin salah gue hajar Lo."

Fery menunjuk Bella. "Awas kamu ulangi seperti ini lagi."

"Udah ayah bang Vina juga nggak papa," ujar Vina. Dia membela Bella. Dia tau Bella pasti tidak sengaja.

"Bunda Vina nggak papa kok," ujarnya lagi. Dia meyakinkan Merta bahwa dia baik-baik saja bahkan tidak ada luka sama sekali.

"Syukurlah, bunda takut banget tadi pecahan meja kaca mengenai kamu," kata Merta. Dia lega. Matanya menatap nyalang kearah Bella.

Tamparan keras dilayangkan Merta. "Bunda udah bilang kan kamu harus hati-hati kalau menyangkut Vina. Kamu tadi sengaja mau bikin anak saya terluka? Iya!"

"Masuk kamar jangan keluar sampai saya yang nyuruh kamu keluar."

"Bunda Vina nggak papa, jangan gitu sama Bella," ujar Vina. Dia membela Bella, kasihan pada Bella. Dia merasa iba melihat Bella yang disalahkan.

"Lo nggak usah belain Bella Vin, Lo hampir luka gara-gara dia. Jangan terlalu baik takut ngelunjak," celetuk Gavin. Dia menatap Bella seolah penuh kebencian. Entah kenapa rasa benci itu mulai muncul hari ini.

"Tidak papa supaya bella bisa belajar dari kesalahannya," sahut Merta. Dia menatap sengit Bella yang masih menunduk.

"Tunggu hukuman dari saya. Sekarang masuk kamar, tunggu saya," ucap Fery.

"Iya, Bella minta maaf."

Bella berjalan dengan pincang, kedua lututnya sudah berdarah karna luka. Dengan pelan dia menaiki tangga, rasa sakit karna luka di lututnya dia tahan sampai masuk ke dalam kamar.

Air mata yang sedari tadi ditahannya luruh begitu saja. Dia masuk ke kamar mandi berniat membasuh luka tersebut dengan air. Rasa perih dia rasakan ketika air mengalir dikakinya.

Air mata terus keluar. Bukan hanya fisiknya yang terluka, tetepi hatinya juga teramat sakit. Sengaja? Bahkan untuk berfikir melakukan hal rendahan seperti itu pun tidak. Dengan kaki yang terluka apakah mencerminkan kesengajaan. 

"Sakit." dengan isakan Bella bergumam.

Kenapa dengan luka ini dia juga tidak bisa Menarik perhatian dari kedua orang tua nya. Tetep disalahkan. Sebenarnya hatinya yang lebih berdenyut sakit. Mencoba bersabar ternyata sangat melelahkan.

Tangannya yang baru saja dia bersihkan dari darah mengusap pipinya yang memerah. Sakit hati pertama nya, hari ini sangat menyakitkan, tamparan pertama kali yang dilayangkan bundanya tidak hanya menorehkan luka di pipinya, tetapi membuat goresan yang teramat dalam di hatinya.

Tangan yang biasanya selalu mengusapnya penuh kelembutan, bisa-bisa menamparnya. Entah apa yang dia pikirkan Bella saat ini.

Panggilan dari depan kamar mandi, dia buru-buru menghapus air matanya, membasuh mukanya supaya tidak terlihat menangis, tetepi mata yang sembab tidak bisa membohongi siapa pun.

Garis LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang