02. Perdebatan

958 105 17
                                    

Rasyi selalu ingin menyadarkan Rasya bahwa tidak semua manusia di muka bumi ini adalah manusia baik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rasyi selalu ingin menyadarkan Rasya bahwa tidak semua manusia di muka bumi ini adalah manusia baik. Tidak semua hal harus dianggap baik, ada kalanya beberapa hal harus dicurigai. Namun, memang dasarnya adik kembarnya itu terlalu berpikiran positif pada seluruh hal yang ada di semesta raya ini.

“Lo harusnya nggak gitu, Ras. Berapa kali, sih, gue harus bilang?” Rasya mengimbangi langkah kaki Rasyi yang lebih besar darinya saat masuk ke dalam rumah. Perdebatan terus terjadi sejak perjalan pulang. Padahal di dalam mobil masih ada Rama —Nara pulang dengan mobil terpisah. Tetapi, tidak ada keseganan bagi mereka.

“Berapa kali juga gue harus bilang? Lo nggak usah ngajak papa bicara, Sya. Tanggepannya selalu nggak enak.” Rasyi berhenti tepat di ruang keluarga yang megah itu. Meletakkan jas hitamnya di lengan sofa yang terlihat empuk.

“Tapi kan itu papa, Ras. Malah aneh kalau gue nggak ngajak papa ngomong. Kaya gue bukan anaknya.”

“Terus gue? Sama aja, kan? Masih ada Mas Nara yang sangat disayangi papa itu. Mas Nara bisa kok ajak papa bicara. Lo nggak perlu.”

Perkataan Rasyi sukses membuat Rama yang sedang bersila kaki di sofa menoleh. Sedikit mengernyit seakan bingung dengan arah bicara Rasyi. Untung saja tidak ada Nara saat itu, sulung keluarga Aksawijaya itu sepertinya ada pekerjaan mendadak.

“Tapi kan bisa Ras jawabnya baik-baik. Papa udah baik nanyain lo, harusnya lo jawab dengan baik juga. Merusak suasana tau, gak?”

Rasyi yang awalnya hendak melanjutkan pergerakan menuju lantai atas, mengurungkan niatnya. Dia berbalik menghadap Rasya yang beberapa senti lebih pendek darinya. Menarik napas jengah sebab adiknya itu terlalu keras kepala akan pikiran positifnya.

“Sekarang gue tanya, Papa jawab pertanyaan lo dengan baik, gak?”

Rasya menggeleng untuk menjawab pertanyaan Rasyi. “Tapi wajar, Ras. Mungkin Papa capek sama kerjaan.”

“Capek? Capek sama kerjaan sampe gak peduliin anaknya? Kalau gitu gak usah punya anak banyak, lah!”

“Gila, ya, Ras. Itu Papa loh. Lo gak boleh bilang gitu.” Tidak ada tanggapan yang dilontarkan Rasyi. Terlalu capek untuk berdebat sebab mereka berdua sama-sama keras. Lantas anak itu melanjutkan langkah menuju lantai atas, diikuti oleh Rasya yang masih ingin mengajukan perlawanan.

Sedangkan Rama hanya berdiam di sofa. Mengingat-ingat kembali pembicaraan singkat yang berakhir dengan kecanggungan beberapa waktu lalu di acara Ramia. Menurutnya, sikap Tanwira yang seperti itu sebab sejak Rasya dan Rasyi lahir, beliau berkali-kali lipat lebih sibuk sehingga hampir tak pernah pulang ke rumah. Berbeda dengan dirinya dan Nara yang terlihat lebih akrab dengan Tanwira, mungkin karena Tanwira belum sesibuk sekarang pada saat dulu.

Rama reflek melirik ke lantai dua, tepat pada pintu kamar kedua adiknya. Suara perdebatan masih terdengar walau pintu tersebut tertutup. Meskipun tidak terdengar jelas kata-kata yang mereka lontarkan, tetapi dapat membuatnya berpikir lebih keras. Apa yang salah dengan Papa, Rasya dan Rasyi?

Elegi Langit Malam | Fourth NattawatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang