08. Menelan Kekecewaan

635 77 12
                                    

Naratama memasuki ruang rawat sang adik dengan wajah suntuk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Naratama memasuki ruang rawat sang adik dengan wajah suntuk. Jas hitam yang tergantung di lengan serta kerah baju yang sudah tak akur dengan dasi yang tersangkut seadanya di leher membuat tengah malam pukul dua dini hari itu terasa lebih melelahkan. Seusai mengurus segala sesuatu untuk membungkam media yang akan dengan seenaknya menyebarkan informasi tak benar mengenai kejadian siang tadi, anak sulung keluarga Aksawijaya itu masih harus menunggu sang adik yang sedang dirawat.

Langkahnya berat, karena memang satu hari penuh dirinya tak ada waktu untuk duduk barang sekali pun. Rasanya telapak kakinya sudah menempel pada kaus kaki dan sepatu pantofel yang ia kenakan. Lantas ia lepas alas kakinya, mengganti dengan sandal yang telah disediakan pihak rumah sakit di ujung ruangan tersebut.

Setelah meneguk segelas air putih yang tersedia di meja depan, Naratama melanjutkan langkah ke arah ranjang persakitan adiknya. Namun, atensinya teralih pada adiknya yang lain. Yang saat itu terduduk bersandar pada sofa krem yang tepat berhadapan dengan brankar Rasyi. Naratama berpikir Rasya —adiknya yang paling kecil itu tertidur dalam posisi duduk. Tetapi setelah melihat tangan anak itu menggenggam erat sebuah inhaler, dengan cepat Naratama mendekat. Tangan lelaki dewasa itu menepuk pundak adiknya, memberikan ketenangan terlebih dahulu sebelum melayangkan pertanyaan khawatir.

“Kenapa, Sya? Nggak ikut Mas Rama pulang?” Saat itu, ruangan hanya diterangi lampu di atas nakas sebelah brankar Rasyi.

Rasya menoleh perlahan. Di tengah guratan dahi dan wajah lelah, anak itu tersenyum. Sedikit menggeleng untuk menjawab pertanyaan Naratama.

“Mas capek, ya? Istirahat aja, Mas. Aku belum bisa tidur.” Setelahnya, Rasya beralih pada layar ponselnya. Menunggu sebuah notifikasi yang sedari tadi ia nantikan.

“Besok sekolah, Sya. Mas antar pulang, ya?”

Tanpa menoleh, Rasya menggeleng. Tatapannya masih setia pada layar ponsel. Layar kunci tempat seluruh notifikasi muncul. Namun, dari banyaknya notifikasi yang muncul di sana, tak satu pun yang dapat membuat Rasya berhenti menunggu.

“Aku ... besok nggak sekolah dulu, ya, Mas?”

Untuk sesaat, Naratama mencoba mencerna nada bicara Rasya yang rendah. Tak ada rona atau intonasi berarti, menandakan ada hal yang mengganjal di hati anak itu.

Tak ingin bertanya lebih lanjut, Naratama memilih untuk mengusap rambut adiknya dengan pelan. “Iya, istirahat dulu aja kalau kamu rasa nggak enak badan.” Naratama mengerti, kejadian siang tadi tentu membuat adiknya terkejut. Oleh karena itu, dia tak ingin bertanya hal lain yang akan membuat anak itu berpikir lebih kuat.

Detik selanjutnya mereka sama-sama terdiam. Mungkin memang waktunya untuk mengistirahatkan tubuh dan pikiran. Naratama masih tak berhenti mengusap pucuk kepala Rasya. Sedang adiknya itu susah meletakkan kepalanya di sandaran sofa. Denting jam yang mesin AC yang bersahutan menjadi satu-satunya suara di ruangan itu. Kedua mata kakak adik itu tak ingin terpejam. Dahi mereka masih berkerut memikirkan hal yang berbeda.

Elegi Langit Malam | Fourth NattawatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang