JEMARIKU menjumput secarik kertas dan menundukkan kepala membaca tulisan di sana.
"Kalian tidak pernah melakukan kesalahan. Kalian adalah malaikat-malaikat kami. Hanya saja kami yang memilih untuk melakukan kesalahan. Miranda, aku menitipkan mereka padamu karena kau malaikat terbaikku."
Aku mendesah dan menarik napas dengan cepat. Aku menjatuhkan kertas itu di meja dan udara yang kuhirup sepagi ini terasa menyesakkan. Kedua tanganku terangkat ke leher lalu menyugar rambut panjangku yang terjatuh lurus.
Astaga, aku sudah terbiasa dengan keadaan yang kuhadapi pukul enam ini, tetapi yang membuatku tak setegar sebelumnya karena aku tak pernah menyangka bahwa ibuku yang kuanggap mahluk paling berbesar hati di muka bumi ternyata melakukan hal yang sama padaku. Dan kini aku membencinya karena itu berarti dia juga bertindak yang sama terhadap adik-adikku.
Satu-satunya yang ingin membuatku menangis detik ini membayangkan nasib anggota keluargaku yang bahkan masih merengek di malam hari. Mereka sudah kehilangan pembimbing untuk menuliskan atau mendorong mereka untuk menentukan nasib.
Tetapi aku menyeka setetes air mata yang bergulir di ujung mataku, bersumpah bahwa akulah yang akan mengurus mereka meskipun aku harus melewati dunia dengan pontang-panting, aku tidak akan bergeser seinci pun dari harapan mereka.
"Miranda, apa yang terjadi?" Suara itu membuatku tersentak. Aku menoleh.
Aku menarik napas dan mengangkat dagu seringan mungkin. Mataku menatap Rue dengan bara semangat. "Tidak ada. Hanya saja hidup kita yang akan tetap harus berlanjut."
Adikku yang tertua melirih setelah dia bergeming sejenak. Karena dia satu-satunya adikku yang sudah mengerti bagaimana sistematis kehidupan di dunia dengan cara pandang usianya yang remaja, serta dia yang paling kuandalkan di rumah untuk menjaga anggota yang lain, Rue sangat mengenalku dan tahu dengan mudah apa yang kualami melalui pandangan mataku. "Ayolah, betapa mengerikannya ini? Kau cantik, aku tampan, Neil menggemaskan dan Isela mungil—dan siapa yang tidak ingin mencubitnya?"
Dia menundukkan wajahnya yang merah karena amarah, lalu melihatku kembali. "Apa salah kita, Miranda? Sekarang Mom pun memisahkan diri."
Karena aku merasakan keresahannya, aku bergerak menghampirinya. Tanganku menangkap kedua wajahnya yang bersih dan tampan. "Mungkin mereka membuat kesalahan, tetapi kita tidak, Rue."
Mata Rue panas dan bergetar karena rasa sedihnya dan betapa hancurnya hatiku saat ini. Teramat menyangsikan bagaimana kedua orangtuaku tidak melihat sebagaimana caraku memandang sesuatu—sementara aku lahir dari mereka. Rue teramat tampan dan bagaimana Victor dan Caroline tidak mengerti bahwa akan muncul model luar biasa yang akan menghiasi papan reklame dan majalah-majalah dalam beberapa tahun ke depan. Aku mengerang dalam hati, bersyukur, karena menyerah tidak terwarisi dalam darahku.
"Rue, suatu saat mereka akan datang kembali dan memelukmu. Mereka akan mengatakan bagaimana luar biasa anak-anak mereka nanti. Tetapi untuk sekarang aku akan berjanji kalau aku akan terus menjaga kalian meskipun kalian nantinya muak dengan diriku. Aku tidak peduli. Aku tidak akan selemah mereka. Ini janjiku untuk kalian, Rue."
Rue menggapai tanganku di wajahnya. "Kita akan bersama-sama menjaganya,"
Mataku bersinar di balik bulu mataku. Aliran semangat dan tak keputusasaan dari Rue sudah cukup membuatku merasa tenang dan bahagia. "Terima kasih. Sekarang kau bisa membangunkan Niel dan Isela. Aku akan menyiapkan sarapan."
Anak muda itu mundur sementara aku berbalik untuk menguasai ruangan yang kini diasetkan penuh untukku. Aku memandang berkeliling dapur dan berbalik sewaktu mendengar Rue memanggilku di ambang pintu. "Miranda?"
KAMU SEDANG MEMBACA
THIRSTY MAID
Romance21+ SEXY ADULT ROMANCE. Dengan sadar aku baru saja menerima untuk bekerja di kediaman multimiliuner yang tampan dan berbahaya sebagai pelayan. Aku tidak berharap dan berpikir untuk juga melayaninya di ranjang, tetapi berhadapan dengan pria yang menj...