CHAPTER 12

2.5K 16 0
                                    


AKU sedang menyiapkan makan malam di meja dan berseru pada Rue di seberangku. "Rue, apakah kau bisa membantuku membereskan semua ini setelah makan nanti? Ada pekerjaan mendesak yang harus kulakukan."

Alisnya yang tebal terangkat saat menatapku sementara dia menuangkan air ke dalam gelas di meja. Aku terkesima karena dia mempunyai insting yang kuat hingga air yang dituangkannya tidak tertumpah, "Kau baru mulai bekerja besok. Pekerjaan apa lagi ini? Kenapa kau tidak menyuruhku saja untuk melakukannya?"

"Apa pekerjaan itu ada hubungannya dengan bos barumu itu?"

Aku mengangguk. Itu sudah menjadi kebiasaanku berbagi cerita dengannya. Tekadnya yang kuat untuk melindungiku harus kuhargai. "Ya, tapi ini memang sangat penting. Aku harus mengganti perban di punggungnya."

Rue menandak teko di tengah-tengah meja begitu dia sudah selesai. Matanya menyipit menatapku. "Punggung? Dia harus melepas baju sebelum kau melakukannya. Miranda, apakah kau yakin?"

"Dia bisa saja menyuruh orang lain. Pengusaha sekelas dia bukan tipe pria yang manja. Kecuali dia memang ingin bermanja-manjaan denganmu. Oh, kau pasti sudah menggucang dunianya." Sekarang Rue justru mengerling. "Apa yang kubilang!"

Pipiku mengembang mencerna perkataan pemuda paling pirang dan menarik di kota ini. "Rue, sudahlah. Kau tidak perlu cemas. Aku pasti bisa menghadapinya."

Bahu Rue terangkat enteng. "Aku tidak mencemaskanmu. Aku hanya mencemaskan calon kakak iparku di sana yang harus bekerja keras mengejar kakak perempuanku yang sangat malu untuk menyatakan perasaannya ini."

Aku langsung bergidik di tepi meja. Julukan Rue untuk Cassilas terdengar menggelitik sampai aku tersipu. "Aku tidak malu, Rue. Aku sudah mengatakan padamu kalau Cassilas adalah tipeku. Tapi hanya saja dia bukan prioritasku saat ini."

Rue beranjak mengitari meja. Ketika dia berdiri di depanku, dia menyentak pelan bahuku dengan kedua tangan. "Sampai kapan kau akan terus menjaga kami, Mires? Kau juga harus mengejar kebahagiaanmu sendiri. Kau bisa berbagi beban itu kepadaku, aku yakin ada pekerjaan freelance di luar sana untukku."

Tanganku memukul bahu Rue. Aku tidak suka dia ingin mengorbankan waktu pendidikannya untuk membantuku. "Aku akan menjaga kalian sampai kapan pun. Itu tidak bisa kau ganggu gugat." Aku pun mendesah, melepaskan tatapanku dari mata Rue yang bersinar tulus. "Lupakan saja soal Cassilas, dia tidak mungkin terpesona padaku sementara dia dikelilingi wanita cantik di luar sana."

Rue menopangkan satu tangannya di meja makan, walaupun itu gerakan biasa, dia berpose dengan andal seolah-olah dia memang model berbakat. "Kau cantik sampai aku bosan harus mengulangnya. Teman-temanku mengantre untukmu."

"Dan apakah kau senang kalau kukatakan ada beberapa pria dewasa lain juga yang menitipkan salam untukmu?"

Rue menarik tangannya dan kembali berdiri tegap. Dia terlihat begitu menarik walaupun hanya mengenakan kaus dan celana pendek selutut. Aku juga bisa membayangkan bagaimana teman-teman gadisnya di sekolah menjerit memendam perasaan kepadanya.

"Sebenarnya aku merestuimu, Miranda. Aku tidak pernah melihatmu secanggung ini sementara matamu juga berbinar-binar ketika membahas pria itu. Dia pasti sudah sering membuatmu tersipu. Kau tidak akan begitu kalau kau tidak merasakan sesuatu di hatimu."

Aku memang merasakan hatiku mengembang dan jiwaku tertarik pada Cassilas saat berhadapan dengannya. Lalu Rue mengerdip padaku. "Tapi baiklah... aku baru akan benar-benar mendukung calon kakak iparku Cassilas setelah kau mempertemukannya denganku nanti. Aku harus melihat kalau cinta itu memang benar-benar ada untukmu."

Aku memilin bibirku untuk menyembunyikan senyum. Secepatnya beralih pada makanan yang sudah kusiapkan di atas meja. "Oke. Sepertinya sudah waktunya makan malam, panggil adik-adikmu."

*****

Di meja makan aku hanya menyantap satu sendok sup dan meneguk air putih. Aku berniat melanjutkan makan malamku nanti sepulang dari kediaman Cassilas, walaupun sebenarnya aku tidak ingin melewatkan celotehan adik-adikku di meja makan. Setelah berpamitan pada Neil dan Isela, aku mengerdipkan mata pada Rue agar mengurus mereka selama aku pergi.

Aku meninggalkan rumah, mencegat taksi, lalu tiba secepat mungkin di depan pintu rumah Cassilas. Sebelum tanganku berhasil mengetuknya, pintu itu terbuka dan seorang wanita bergaun merah yang senada dengan lipstik di bibirnya keluar dari sana.

Wanita itu berbalik menghadap Cassilas yang tepat berdiri di belakangnya. Aku menunduk dan mengepalkan tanganku saat wanita itu mencium pipi Cassilas. Aku tidak tahu sekarang senyum itu untuk siapa dan karena apa, yang pasti mulut Cassilas melengkung indah saat dia menyapaku setelah wanita itu pergi. "Miranda, aku sudah menunggumu."

Aku mengalihkan wajah, aku tidak tahan melihat seberkas noda lipstik di rahangnya. "Sebaiknya aku pulang saja. Posisiku pasti sudah digantikan."

Cassilas menahanku. "Tunggu." Dia menghalangi langkahku dengan berdiri tegap di depanku. "Menggantikanmu? Aku tidak mungkin melakukannya. Tidak ada seorang pun yang mampu menggantikan posisimu, Miranda."

Aku tidak tahu kenapa hatiku terasa remuk sekarang. Aku sangat sedih karena menyadari kalau aku tidak pantas berharap pada Cassilas. Wanita berambut gelap dan anggun tadi jauh lebih sempurna untuknya. "Perempuan tadi... dia pasti sudah membantu Anda."

Suara Cassilas terdengar penuh penekanan namun tetap mengalun dengan nada halus. "Dia temanku. Dia hanya berkunjung karena sudah lama tidak bertemu denganku. Aku bisa saja tadi menyuruhnya untuk mengganti perbanku, tetapi aku tidak melakukannya. Aku hanya mau kau yang melakukannya untukku."

Aku ingin menghambur maju dan memeluk Cassilas. Ingin mengatakan kalau aku tidak ingin wanita lain menyentuhnya sekaligus ingin mengungkapkan kalau aku sangat tersanjung dengan pengakuannya. Tetapi debaran jantungku terlalu kuat sampai aku tidak bisa melakukan apa-apa. Tubuhku menggigil, berdesir, dan membeku.

Namun Cassilas kembali menghangatkan tubuhku dengan menyelipkan lengannya di pinggulku. "Sekarang ikutlah masuk bersamaku, Miranda. Lakukan apa yang ingin kaulakukan padaku."

Aku hanya mendesah lirih dan menyandarkan bahuku dengan pasrah dan penuh damba di tubuhnya.

*****


THIRSTY MAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang