CHAPTER 14

1.2K 12 0
                                    


AKU berderap ke dapur dan langsung meletakkan cangkir di bawah mesin kopi. Sangat ingin secepatnya pulang ke rumah dan menenangkan diri, jauh-jauh dari pria yang sikap dan tubuhnya memancarkan panas dan pesona yang menggoda sampai kepalaku terasa pusing karena amat tertarik padanya. Aku benar-benar dibuat canggung dan tak berkutik.

Setelah mencampurkan krim ke dalam wadah kopi, aku secepatnya kembali menemui Cassilas di ruang duduk dan agak membungkuk menaruh nampan di meja. "Semoga sesuai permintaanmu, Tuan." kataku, dengan senyum yang sekaku diriku.

Cassilas mendongak dan menyunggingkan senyum. "Terima kasih. Kau memang selalu yang terbaik, Miranda."

Sebelum aku sempat berpamitan kepadanya, Cassilas menatap cangkir dengan kerutan di keningnya, lalu menatapku dengan mata disipitkan. "Maaf, kau memberiku dua cangkir kopi. Apakah aku harus menghabiskannya seorang diri?"

Jantungku rasanya meledak karena keterkejutanku sendiri. Mataku terbelalak dan aku menyumpahi diriku sendiri. Aku benar-benar gugup sampai tak sadar membuat kesalahan. Lagi pula ini bukan sepenuhnya salahku, Cassilas ikut andil karena dia sangat seksi dan menarik dan bertingkah seolah-olah merayuku sampai pikiranku kacau.

Aku menekan bibir bawahku. "Ah, aku minta maaf. Aku tadi benar-benar gugup."

Cassilas masih menatapku sambil mengernyit sementara tangannya terulur meraih cangkir di depan tangannya. "Apa yang membuatmu gugup? Tenanglah, Miranda."

"Sekarang duduklah. Kau bisa menikmati secangkir kopi yang lain." gumamnya, mendekatkan cangkirnya ke bibirnya.

Dengan pasrah dan hati berdebar-debar, aku mendaratkan diri di sofa di samping dirinya. Tetapi jarak di antara kami masih puluhan sentimeter sehingga aku masih bisa bernapas. Di tengah-tengah meneguk kopi yang kubuat sendiri, Cassilas mengatakan sesuatu yang membuat dadaku tersekat.

"Sekarang kau tentu sudah tahu dengan siapa kau bekerja, Miranda."

Aku menarik napas, mencoba mencerna ucapan Cassilas seformal mungkin. "Ya, tentu saja. Aku bekerja kepada seorang pengusaha sukses. Anda juga dianugerahi wajah yang sangat tampan. Blog gosip yang baru kubaca mengatakan bahwa Anda sudah menaklukan banyak wanita cantik dan bermalam bersama mereka."

Sebelah alis Cassilas terangkat. "Jadi siapa yang lebih kau percaya, Miranda. Blog gosip yang kau baca atau diriku?"

Aku terkekeh, tetapi tatapan Cassilas malah semakin dalam. "Blog gosip itu melengkapi artikel mereka dengan foto-foto di mana Anda dan beberapa wanita tengah bersama menghadiri acara. Aku melihat mereka menaruh tangan di dada Anda sementara tangan Anda merangkul pinggulnya."

Cassilas berdeham. "Aku tidak pernah berusaha menaklukan wanita yang tidak kucintai, Miranda."

Aku masih membalasnya dengan serbuan kegugupan dan ketertarikan yang menyatu dalam diriku. "Tentu saja. Anda menaklukkan mereka dengan wajah Anda yang tampan dan sikap Anda yang hangat. Anda persis seperti apa yang dikhayalkan semua wanita. Cukup dengan menatap dan wanita-wanita itu pasti akan luluh."

Mata Cassilas yang gelap berkilat sementara dia menurunkan cangkirnya ke meja. "Seperti itukah diriku? Apakah hal itu juga terjadi padamu, Miranda? Apakah aku cukup membuatmu tergila-gila padaku saat aku menatapmu?"

Alis yang tebal dan bulu mata yang lebat yang membungkus mata Cassilas membuat mata pria itu semakin terlihat indah tetapi juga tetap panas. "Mm... aku tidak tahu."

"Kau akan mengetahuinya."

Dengan cepat Cassilas langsung menyergapku. Kedua tangannya menangkap bahuku dan sentuhannya sangat lembut. Aku kembali merapatkan paha menahan betapa besar daya pikatnya. "Tatap aku, Miranda."

"Miranda... kumohon lihat mataku."

Aku menunduk perlahan. Aku tidak sanggup menatapnya karena dia sudah terlalu tampan. Kalau aku menatapnya dari jarak terdekat, mungkin aku akan hilang akal dan langsung mencium bibirnya.

Aku mengepal tanganku yang gemetar dan berkata, "Maaf, aku tidak bisa melakukannya."

Suaranya yang serak dilemparkan lagi kepadaku dan membuat hatiku bergetar. "Kenapa?"

Karena aku tidak mau menjadi salah satu wanita yang patah hati karena sudah luluh padamu tetapi aku tidak bisa memilikimu. Aku tidak mengatakannya. Aku menyimpannya sendiri di dalam hati dan mengambil alasan lain.

Aku menarik diriku ke belakang dan berupaya berdiri. "Aku harus pulang sekarang. Adik-adikku sudah menunggu. Tapi sekarang bisa kukatakan pada Anda bahwa aku sama sekali tidak berniat ingin luluh dan jatuh cinta pada Anda."

Perkataanku sama sekali tidak membuat sikapnya mundur. Energi dalam diri Cassilas malah terasa semakin kuat dengan senyumnya yang menggoda. "Aku anggap itu tantangan untukku, Miranda. Ingatlah itu. Tantangan bagiku. Selamat malam."

******


THIRSTY MAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang