CHAPTER 9

2.4K 17 0
                                    


AKU merasa kesal karena aku merinding dan tak bisa mendekap tubuh Cassilas di depanku. Aku bertanya-tanya tentang seberapa kuat tubuhnya di balik setelan itu. Aku ingin sekali menyelinapkan tanganku ke dalam jasnya dan menarik keluar kemejanya. Aku ingin sekali merasakan otot-otot tubuhnya yang keras di telapak tanganku. Aku sangat menginginkannya sampai serbuan gairah itu membuatku semakin pusing.

Sampai Cassilas mundur selangkah dan berdiri tegap di depanku. Mulutnya melengkung. Aku berpikir dia sekarang pasti merasa sangat senang melihat betapa besar pengaruh dirinya atas diriku. Aku bisa menebak kalau dia sekarang tahu bahwa aku menyimpan hasrat mendalam untuk dirinya.

Aku berdeham dan mengeluarkan suara yang seperti bukan suaraku karena terlalu serak dan gemetar. "Baiklah. Kalau begitu aku pamit, Tuan."

Cassilas memberengut. Aku tidak menyangka dia semakin seksi dengan raut itu. "Kenapa terburu-buru, Miranda?"

Aku mengangkat tangan ke atas mengusap tengkuk leherku. "Aku pikir Anda tidak membutuhkanku lagi saat ini."

Dia bersedekap. Lengan jasnya tampak sesak dengan ototnya. "Sebenarnya aku membutuhkanmu saat ini. Tapi kalau kau ingin pulang dan kembali untuk bekerja besok, aku tidak bisa menghalanginya."

Entah kenapa hatiku merasa sakit melihat kerutan di keningnya. Meskipun Cassilas berbahaya untuk kesehatan otakku saat ini, aku tidak bisa menolaknya. Itu seperti panggilan naluriah dalam diriku. Aku berusaha tersenyum padanya. "Apa yang bisa kulakukan untukmu, Tuan?"

Detik selanjutnya aku langsung menyesali pilihanku untuk membantunya. Cassilas sama sekali tidak membantuku karena dengan gerakan andal dia melepaskan jasnya dan menyampirkannya ke lengan sofa. Lalu menarik kemejanya keluar dari celana dan membuka kancing kemeja satu per satu.

Cassilas menarik kemeja itu dari lengannya dan meletakkannya di atas jasnya. Astaga... aku tidak pernah memandang sesuatu yang sangat jantan dan sensual seperti yang kusaksikan detik ini. Tubuhnya ramping dan keras. Dada dan bahunya bidang. Lengannya kuat dan dihiasi otot yang indah.

Ketika dia melangkah kembali padaku, aku tahu kalau aku tidak akan mungkin menolak menyerahkan sekujur tubuhku untuknya. Aku benar-benar menginginkannya. Aku ingin menyentuhnya dan merasakan sentuhannya di tubuhku.

Bernapas di depan tubuhku, aroma tubuh Cassilas semakin tajam dan menggiurkan. Jantungku berdebar-debar menanti tangannya menangkap tubuhku. Tetapi dia tidak melakukannya. Dia malah berguman padaku. "Aku ingin kau mengganti perban di punggungku."

"Apa?" Aku pikir aku akan menikmati hari yang paling menggetarkan di hidupku. Tetapi syukurlah, Cassilas masih sangat terkendali. Aku merasa kesal pada diriku sendiri yang bisa selemah ini depannya.

Setelah menunjukkan tempat obat dan memberikan perban untukku, kami kembali ke ruang duduk. Aku duduk di belakang punggungnya dan jemariku tersengat merasakan sensasi menyentuh seberkas kulitnya yang halus. Walaupun desakan untuk memeluk tubuhnya terus menyelimutiku, aku berusaha melakukan pekerjaanku dengan baik.

"Kenapa Anda bisa terluka seperti ini, Tuan?" tanyaku, mencoba mengalihkan pikiranku dari pikiran nakal tentang tubuhnya.

Cassilas baru menjawab setelah aku selesai mengganti perbannya. Dia mencondongkan tubuhnya menghadapku. "Bukan masalah. Aku mengunjungi proyek pembangunan gedung baruku dan sesuatu menimpa punggungku."

Cassilas bergumam dengan santai. "Tapi dengan begitu aku bisa tahu material gedung baruku tidak seperti standar yang kutetapkan. Aku bisa menemukan tikus nakal di perusahaanku. Aku sudah curiga padanya, hanya saja aku butuh bukti."

Aku merapatkan kaki dan menautkan jemari tanganku. "Anda harus lebih berhati-hati. Akan ada banyak orang yang sedih kalau sesuatu yang buruk terjadi kepada Anda."

Alis Cassilas bertaut menatapku. Lagi-lagi aku harus meralat ucapanku. "Maksudku... Anda punya banyak karyawan yang sangat membutuhkan Anda, Tuan."

Cassilas meraih kemeja di sampingnya, mengenakannya sambil bergumam padaku. "Apakah kau juga termasuk orang yang membutuhkanku, Miranda?"

Aku menunduk dan tertawa. "Tentu saja. Aku menerima gaji dari Anda."

Sebelum Cassilas mengambil jasnya, aku berdiri dan mengambilkannya untuknya. Matanya melengkung seperti senyumnya.

"Terima kasih. Aku beruntung bisa mendapatkanmu untuk bekerja di sini. Kau punya perhatian penuh pada bosmu."

Aku membalas sementara dia bangkit begitu selesai mengancingkan kembali kemejanya. "Aku sudah terbiasa. Aku punya tiga orang adik di rumah."

Pipiku kembali panas. Matanya tidak pernah berhenti mengamati wajahku. "Kau pasti wanita yang penyayang. Apakah kau tidak ingin menambah satu orang lagi untuk kau sayangi?"

"Apa?" Aku melotot. Apakah Cassilas baru saja melamarku? "Mm... aku tidak tahu." tukasku padanya.

*****


THIRSTY MAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang