CHAPTER 13

1.4K 13 0
                                    


CASSILAS menggandeng lekukan pinggulku dengan sangat ahli, tidak melepaskanku sebelum kami tiba di ruang duduk. Dia mencondongkan tubuh dan menatapku dengan panas, tetapi suaranya meluncur dengan lembut dan dalam. "Duduklah, aku akan pergi ke belakang mengambil perban."

Aku menarik napas dalam berkali-kali ketika Cassilas berderap melintasi ruangan. Dengan kaki gemetar aku bergegas menempatkan bokong di sofa dan memikirkan apa yang sedang dipikirkan Cassilas. Aku bahkan terlalu malu untuk berpikir kalau dia tahu kalau aku sedang cemburu. Tetapi kenapa dia tidak memecatku saja agar semuanya lebih mudah? Dia tidak mungkin menginginkan pelayan yang berlagak menjadi kekasihnya.

Sampai dia datang kembali, duduk dengan gerakan santai di sofa yang sama, masih tidak ada tanda-tanda bahwa dia terusik dengan tingkahku. Senyumnya bahkan hangat dan tetap menggoda saat menyerahkan perban itu padaku. "Peganglah, aku harus melepas kemejaku dulu."

Malam itu Cassilas mengenakan kemeja putih cemerlang, tanpa ada rompi atau jaket yang melapisinya. Tetapi lagi-lagi dia tetap terlihat mahal dan formal. Aku sangat gugup dan nyaris hilang kendali ketika melihat Cassilas melepas kemejanya seperti yang kusaksikan tadi siang.

Sekujur tubuhku meregang gelisah dan ingin sekali menerjangnya. Aku ingin membantunya bertelanjang dada dengan merobek kemeja itu sampai kancing-kancingnya berhamburan di lantai, lalu mengangkat tubuhku ke pangkuannya. Aku ingin menyurukkan wajahku ke wajahnya lalu menciumnya dengan liar dan serakah.

Tetapi keinginan itu tetap terpendam dalam hatiku sampai dia berbalik, memunggungiku, dan menghadiahiku dengan pemandangan punggungnya yang bidang.

Aku pun merapat ke tubuhnya dan tak bisa menolak untuk mencium diam-diam aroma kulitnya yang lembut dan tajam. Rasanya sangat pusing berdekatan dengan pria yang membuatku tergoda, lalu dengan sekuat tenaga aku mengulurkan tangan dan menyentuh kulitnya yang kencang. Aku mengganti perban dengan perlahan-lahan, itu karena aku merasakan segalanya dalam diriku melemah secara fisiologis.

"Sudah selesai?" Cassilas bertanya setelah beberapa saat.

Aku menarik napas dan mundur. "Ya," desisku.

Cassilas kembali berbalik menghadapku dan menjulurkan tangan menarik kemeja yang disampirkannya di lengan sofa. Otot lengannya terpampang dengan indah di depan mataku. Aku mengalihkan pandangan untuk melirik sesuatu yang aman untuk dilihat. Namun pria bertubuh kencang dan keras itu menegurku sehingga aku harus kembali menatapnya.

"Aku minta maaf karena kau harus mengganti perbanku. Kau pasti tidak ingin melihat tubuhku." dengkurnya.

Aku menelan ludahku yang tersekat lalu mencoba menenangkan diri. Aku tidak berpikir ada wanita yang mulutnya tidak berair sepertiku menyaksikan tubuh Cassilas yang superseksi. "Ah... Tidak masalah, Tuan."

Cassilas mulai mengancingkan kemejanya. Tangannya bergerak dengan amat terampil. "Bagaimana dengan lukanya?" tanyanya melirikku dengan mata birunya.

Aku tersenyum senyaman mungkin. "Sudah sangat membaik. Dua hari ke depan Anda tidak perlu lagi membalut perban di punggung Anda."

Setelah merasukkan kancing terakhir, mulutnya melengkung lebar. "Terima kasih, Miranda."

Karena masih berjuang untuk melawan aura panas Cassilas yang sangat sensual, aku mengepalkan tangan di atas pangkuan. "Kalau begitu apakah aku sudah boleh pergi, Tuan?"

Cassilas mendesah lirih, dia terlihat sangat hati-hati dengan ucapannya. "Sebenarnya aku dan secangkir kopi sangat bersahabat saat malam begini."

Aku mengerti rautnya, dia pasti merasa tidak enak untuk menyuruhku. Tetapi aku adalah pelayannya dan sedang ada di rumahnya, aku pasti akan menuruti apa pun perintahnya. Terlebih dia menjanjikan bonus yang misterius.

Aku mengangguk dan tersenyum. "Aku akan menyiapkannya, Tuan." Sebelum berdiri meninggalkannya, aku bertanya kembali. "Apa kesukaan Anda, Tuan? Apakah kopi dengan krim?"

Udara berderak dan suasana kembali mendebarkan. Cassilas membawa tubuhnya mendekat lalu menangkap pergelangan tanganku. Tanganku terangkat pasrah mendekat ke mulutnya. Dia terus menarik tanganku sampai jari-jariku yang gemetar menempel di mulutnya. Menyentuh bibirnya dengan jemariku membuatku sangat bergairah.

"Pejamkan matamu dan rasakanlah," gumamnya yang membuat kulitku meremang. Aku mengikuti perintahnya yang serak, memejamkan mata dan menyerap sesuatu dari ujung jariku.

Telingaku terus mendengar suaranya yang selalu terdengar seksi. "Menurutmu apa yang biasa kurasakan di mulutku, Miranda?"

Otakku dengan cepat membayangkan mulut itu bergerak di bibirku lalu meluncur di leherku dengan melepaskan ciuman-ciuman liar. Lalu mulutnya yang terbuka bergerak turun dan mendesak di dadaku. Ketika mulutnya ingin menikmati salah satu yang ditangkupnya dengan kuat dan lembut, aku terkesiap. Mataku terbuka dan refleks menarik tanganku dari bibirnya.

Dadaku naik-turun karena napasku yang menyesak. "Ya... aku sudah tahu. Kopi dengan krim, krim yang lezat."

Aku melompat bangkit dan melangkah secepat mungkin meninggalkan Cassilas yang tersenyum mematikan. Demi Tuhan... menjadi pelayan seorang pria seksi, tampan, kuat, adalah pekerjaan yang harus dicatat sebagai salah satu pekerjaan paling mematikan di bumi.

******

THIRSTY MAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang