CHAPTER 3

5.6K 20 0
                                    


"MIRANDA, apakah kau tahu di mana kawanan kucing jenis Birman menetap sebelum kota kita dipenuhi bangunan?" Aku sedang mengaduk sup sementara mendengar celotehan Isela.

Aku menunduk dan menatap poninya yang jatuh di kening. Pertanyaan adik terkecilku membuatku terenyak sejenak sambil membayangkan kucing-kucing berbulu tebal itu berkeliaran di tengah hutan berlumpur yang menodai bulu-bulu putih mulus mereka.

Aku mengangkat bahu. "Di suatu hutan, mungkin. Atau kita sudah menggusur mereka. Tapi itu mungkin lebih baik karena Belle tentu saja tidak ingin repot-repot mengetahui berapa harga sampo untuk keramas."

"Belum ditambah biaya pemijatan dan layanan lainnnya." Aku mengerdip.

Isela jelas-jelas terusik lalu cemberut karena aku menyindir binatang peliharaannya. Gadis kecil itu mencela sehingga aku mengikik dalam hati. "Mereka bahkan tidak mengeluh karena kita telah mengambil tempat mereka. Tidak salah kalau kau selalu mengusir Belle dari kamarmu."

Mulutku terbuka. "Hei, dia mencakar baju tidurku!"

Isela mengelus bulu-bulu lebat Belle dan berkata polos. "Kurasa itu bukan baju. Itu adalah gumpalan wol yang kau rajut dan itu adalah mainan mereka."

Sambil mengaduk sup, aku bergidik. "Informasi yang terlalu detail, sweety."

Sewaktu Isela meninggalkan dapur, aku langsung saja mendapati pria bertubuh jangkung muncul di sampingku. "Oh Paul.... aku tidak menyangka sahabatku telah membentuk persekutuan bersama sindikat perdagangan wanita."

Aku memiringkan wajahku ke samping dan menyipitkan mata. "Jadi.... itukah yang kaulakukan di atas gedungmu itu?"

"Terus terang saja, berapa kau menjualku padanya?"

Paul tersenyum geli. "Lima ribu dollar untuk tiap bulannya."

Aku melongok menyaksikan kuah sup yang mendidih dan terlihat sangat lezat di depanku. "Dengan harga sebesar itu, tentu saja layanan yang kuberikan juga termasuk layanan ranjang. Tidak ada pelayan berpenghasilan sekelas manajer."

Aku menarik sendok kayu dari wadah yang terbuat dari aluminium lalu menyeringai. "Apa kau benar-benar serius, Paul?"

Paul mendekatiku untuk mengintip sesuatu yang kumasak. "Dia kaya raya. Jadi, biarkan saja."

"Apa yang dia lakukan di sana? Apakah untuk memamerkan ketampanannya yang nyaris berlebihan?" cetusku sedikit penasaran.

Paul mengambil sendok lain dan mencuil sedikit kuah sup tomatku. "Memiliki banyak perusahaan yang menghasilkan banyak dollar bukan berarti kau hanya menopangkan kaki sambil mengisap cerutu. Sesekali kau butuh mengontrolnya—siapa tahu ada seseorang yang bisa kau tarik dan bawa pulang ke rumah."

Aku melotot panas pada Paul. "Dia akan membawaku pulang."

Paul mengedipkan satu matanya ke arahku. "Tentu saja. Jangan lupa alokasikan sedikit dana atas usahaku itu."

Jemariku memutar gagang pematik selanjutnya menyiapkan peralatan makan. Aku mendengar suara berdentingan ketika aku melakukannya. "Menendang bokongmu adalah balasan terbaik karena kau mengirimku ke kandang singa."

Tanganku meraih sepucuk kain saat melihat sebuah mangkuk yang masih basah. Aku sempat terdiam beberapa detik saat memoles benda porselin itu sebelum bertutur. "Sebenarnya aku masih merasa ragu. Aku tidak ingin mengacaukan hidupku. Aku tidak ingin jatuh cinta.... untuk sekali lagi."

Aku menoleh cepat sehingga ekor kudaku bergoyang ke samping. "Bisakah aku menolaknya, Paul?"

Paul meninggalkan masakanku dan mengernyit. "Ayolah, Mires. Pangeranmu sudah di depan mata. Kau harus menghargai kerja kerasku ini."

THIRSTY MAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang