CHAPTER 16

1K 15 0
                                    


SEMENTARA aku masih tidak bisa meredakan dadaku yang berdesir karena berdekatan lagi di dalam limusin bersama Cassilas, bosku yang tampan itu berpaling ke arahku dan mengerling. Dengan matanya yang gelap dan tajam, dia membuatku nyaris lupa untuk bernapas.

"Apa kesukaan adikmu, Miranda?"

Berselang beberapa detik, aku baru bisa menjawab pertanyaan itu. Aku terus melamunkan begitu sempurna dan indahnya tulang rahang Cassilas.

"Merengek..." Aku menggelengkan kepala dengan cepat lalu menjawab kembali. "Mm... Neil suka mainan."

Cassilas tersenyum dan berkata pada sopirnya walaupun tatapannya masih menusuk mataku. "Baiklah. Kau dengar itu, Robert? Kita akan singgah."

Aku membelalakkan mata. "Singgah? Maksud Anda singgah ke toko mainan?"

Cassilas menjawabku dengan anggukan ringan. Ekspresinya terlihat geli tetapi dia masih terlihat amat jantan.

"Oh Tuhan, itu tidak perlu." kataku yang merasa tidak nyaman karena harus merepotkan Cassilas di awal-awal karirku sebagai pembantunya. Ini adalah hari pertamaku masuk bekerja dan aku tidak melakukan tugasku, sementara itu bosku memberikan segalanya padaku. Bagaimana akhirnya kalau aku sampai tidak terjerat padanya? Itu benar-benar mustahil.

Suara Cassilas yang serak dan dalam menyelubungi indraku kembali yang entah kenapa rasanya selalu menginginkan apa pun dari tubuh Cassilas. Bahkan napas pria itu sendiri. Aku ingin merasakan napasnya di kulitku yang kering karena menahan perasaan amat mendalam padanya. "Kau harus memberinya penyemangat, Miranda. Adikmu pasti akan cepat pulih apabila suasana hatinya bagus."

Aku tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun untuk menolak penawarannya. Aku sudah larut ke dalam pusaran pesonannya. Hipnotis pada mata dan suaranya berhasil menaklukanku. Lagi dan lagi. Aku tidak percaya kalau aku hanya tinggal menunggu waktu di mana aku jatuh tak berdaya dalam pelukannya dan memberikan cinta yang diinginkannya dariku. Cassilas benar-benar akan memenangkan tantangan itu.

Setelah singgah ke Kids Home, dan memboyong miniatur mobil mewah, Robert membawa mobil melaju menuju rumah sakit. Pipiku merah sekali dan seandainya bisa, aku ingin sekali mencubit bokong Neil ketika dia berseru di depan Cassilas yang memberikan hadiah untuknya.

"Wah... kekasihmu baik sekali, Mires. Dia kesukaanku."

Tanpa menoleh ke Cassilas, aku mendekat ke arah Neil yang berbaring. Aku melototinya sementara tanganku pura-pura mengelus rambutnya. "Dia bosku, sayang. Aku tidak pernah mengenalkan dia sebagai kekasihku." kataku sambil terkekeh.

Di belakang punggungku, suara Cassilas keluar dengan sopan dan lembut. "Tidak apa-apa. Mungkin adikmu salah dengar."

Aku kembali menegakkan punggung dan bergeser beberapa sentimeter ketika Cassilas melangkah mendekat. Dia merunduk dan tersenyum pada Neil. "Apakah ada yang kauinginkan lagi, Neil?"

Neil mengalihkan pandangannya dari mainan yang ditangkapnya dengan kedua tangan, lalu menyeletuk pada Cassilas. "Aku ingin kau menjadi kekasih Miranda. Kau harus menikah dengannya. Apakah kau akan mengabulkan permintaanku Kakak Tampan?"

Jantungku sudah meledak, tetapi sebagian dalam diriku memaksa untuk menunggu jawaban dari Cassilas mengenai permintaan Neil itu sebelum akhirnya aku bertindak.

Lengan Cassilas terulur dan tangannya mengusap rambut Neil. "Aku akan mengabulkannya. Aku akan menikahi kakakmu."

Neil yang bermulut besar tersenyum lebar. "Yeay. Apakah kalian juga nanti akan memiliki anak laki-laki? Aku juga ingin memiliki teman laki-laki di rumah."

Mulut Cassilas mengatup menahan seberkas kegelian lagi. "Aku akan berusaha mati-matian untuk memberimu teman baru, Neil."

Ini benar-benar gila dan wajahku sudah sangat memerah. Sebelum Neil berceloteh lagi, aku langsung membekap mulutnya dengan tanganku lalu berusaha menarik Cassilas ke luar ruangan.

"Ini saatnya Neil untuk istirahat." kataku gemetaran.

Di depan pintu, aku langsung menarik tanganku dari lengan Cassilas yang keras. "Terima kasih, Tuan. Aku sangat menghargai kebaikan Anda."

Sepasang mata indah yang dibingkai dengan alis tebal itu berkilat. "Memenuhi semua permintaan dirimu dan adik-adikmu adalah tugasku. Ingatlah itu, Miranda."

Dadaku mengembang merasakan tekad Cassilas yang terasa membelai hasratku. Pria itu melangkah maju dan melewatiku. Aku ikut berbalik dan bertanya padanya sebelum dia mengayungkan kakinya lagi. "Apakah itu juga termasuk permintaan konyol Neil beberapa saat lalu?"

Cassilas tidak berkata-kata. Pria seksi itu hanya menoleh dan mengedipkan mata. Demi Tuhan, aku lemas dan aku merinding.

*****

THIRSTY MAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang