CHAPTER 17

1.2K 19 4
                                    


"JANGAN menyalahkanku. Aku hanya mengatakan apa yang kulihat. Anak kecil tidak bisa berbohong, Miranda. Kau memang sangat cocok dengannya." kata Neil di tempat tidur yang dibalut seprai putih dan bersih ketika aku baru saja menutup pintu di belakangku dan memandangnya.

Adikku mengungkapkan perasaannya lagi. "Kapan lagi aku bisa segembira ini? Kapan terakhir kali aku punya mainan baru? Mom dan Dad pun tidak peduli padaku. Apakah kau juga akan seperti mereka, Miranda?"

Mata Neil yang berbinar dan tulus membuat hatiku sakit karena terenyuh. Meskipun aku sedikit kesal dengan tingkahnya, tetapi itu memang murni yang ditunjukkan oleh kanak-kanak seperti dirinya. Terlebih mengingat diriku belum bisa memberikan segala yang dimintanya, membuatku hatiku jauh lebih sesak lagi.

Aku tersenyum padanya sambil mengedipkan mataku, menahan rasa haru yang selalu saja menyerangku apabila menyangkut tentang adik-adikku. "Kalau aku sampai meninggalkanmu, aku bersumpah kalau aku tidak akan pernah bahagia sepanjang hidupku."

Tanganku meraih kursi dan mengambil posisi duduk di sisi ranjang. "Tapi dia memang bukan kekasihku, Neil. Dia hanya bosku. Kau tidak boleh merengek kepadanya. Dia tidak akan menjadi kekasihku."

Neil menoleh padaku. "Kenapa tidak? Kau cantik dan dia tampan. Dia juga sudah berjanji akan menikah denganmu."

Aku menunduk dan mengusap pinggiran kemeja Neil yang lembut. Setelah yakin dengan jawabanku, aku baru menengok padanya lagi. "Karena itu tidak mungkin. Pangeran hanya mencari seorang putri, bukan mencari maid seperti diriku. Kita seharusnya cukup bersyukur karena dia sudah memberiku pekerjaan."

Neil menatapku lamat-lamat, kemudian melepaskan mainan barunya ke samping tubuhnya. Bocah kecil itu mengulurkan tangan mungilnya dan menghapus air mata yang menitik di pipiku tanpa kusadari. "Kau bukan maid, Miranda. Kau adalah bidadari kami."

Dalam pelukanku, Neil mendongak. "Aku berjanji tidak akan merengek lagi padanya. Tapi kau jangan menangis lagi." Aku mencium puncak kepala Neil sementara telunjuknya mengacung ke tempat tidur. "Itu adalah mainan terakhir darinya. Aku berjanji, Miranda."

Setelah memeluk Neil dan membiarkannya untuk beristirahat, saat itu Rue datang. Dia terlihat menarik walaupun dengan penampilan yang sederhana. Kaus putih dengan bawahan jins menjadi sangat mahal ketika Rue memakainya. Dia melangkah ke arahku dan gayanya sudah sangat mirip seperti peragawan.

"Kau mendapat izin? Sudah kubilang." serunya pelan sambil mengerdip melihat keberadaanku.

Matanya menyipit padaku setelah melihat mainan mengilap dan mahal di atas meja. "Astaga. Apakah tadi dia datang ke sini? Kenapa tidak menungguku dulu sebelum dia pulang?"

Aku mengembuskan napas dan bangkit dari kursi. "Apakah kau akan meminta agar dia mau menikahiku juga?"

Seketika Rue melongo dan pada detik kemudian tertawa. Dia menjumpai Neil yang sedang tidur dan berbisik sambil mencium pipi adiknya. "Kerja yang bagus, Neil."

Rue kembali menghadapku dan menyaksikanku yang sudah berkacak pinggang. "Ada apa?" tanyanya.

Aku mengertakkan gigi. "Apakah kau yang menyuruhnya, Rue?"

Terdengar suara pintu berdecit dan seseorang berseru di belakangku. "Aku yang menyuruhnya."

Aku langsung menoleh ke belakang bahu dan mengernyit. "Paul?"

Paul melempar senyum, di lengannya Isela tengah bersandar sambil menikmati es krim. "Jangan marahi adik-adikmu. Mereka pantas mendapatkan kakak pria yang akan melindungi mereka."

"Kau pria dan mereka sudah menganggapmu kakak, Paul!" kataku dengan tegas namun juga menjaga suaraku tetap kecil agar tidak mengganggu Neil.

Paul membalas dengan amat santai, mengabaikan kilatan emosi dalam mataku. "Tapi aku tidak bisa menikah denganmu, Mires."

Aku menekan keningku dan merasa sangat marah padanya. Paul selalu saja mengabaikan kekesalanku. "Oh, kau sangat lucu, Paul.Aku menyesal sudah menerima pekerjaan ini."

Suaraku bertambah nyaring saat menyentak Paul dan Rue di depanku. Aku tidak bisa menahan gelojak hatiku lagi. "Dengar kalian semua. Aku tidak akan pernah jatuh cinta padanya. Semakin kalian mencoba mendekatkanku padanya, aku akan semakin menjauh darinya. Ini adalah hidupku. Kalian tidak bisa mengusik hidupku. Terutama hatiku."

Seolah tidak peduli lagi pada Neil yang tengah terbaring sakit di ranjang, aku menumpahkan perasaanku saat itu juga. Aku sudah mempunyai banyak beban dan aku tidak ingin lagi dipermainkan seperti ini.

"Apakah kalian sadar kalau aku tidak cocok untuknya? Aku seorang maid! Apakah aku harus mengulangnya pada kalian?"

"Aku seorang maid. Dia tidak mungkin cinta padaku. Kalaupun aku luluh padanya, suatu saat dia pasti akan mencampakkanku." Aku melangkah cepat ke arah Paul dan menutup telinga Isela dengan kedua tanganku. "Apakah kalian ingin aku merasa seperti jalang tak berharga pada akhirnya nanti?"

Tanpa kusadari sebelumnya, aku melihat sosok Cassilas yang berdiri di tengah pintu yang belum sempat ditutup. Jantungku kembali berdebar-debar dan perutku seketika melilit. "Cassilas?"

Cassilas maju melewatiku dengan wajah dingin. Dia berhenti di ranjang dan menemukan apa yang dicarinya. "Aku meninggalkan ponselku di sini."

Demi Tuhan, aku merasa sangat malu dan sedih. Aku berusaha menebak apakah dia mendengar semua yang kukatakan tadi atau tidak, tetapi raut wajahnya sendiri sudah mengatakan bahwa dia memang mendengar semuanya.

Saat ini dia berdiri di hadapanku dan aku nyaris menangis. "Miranda, kalau kau memang tidak nyaman bekerja denganku, kau boleh pergi. Paul akan mencarikan pekerjaan baru untukmu."

Bibirku gemetar. "Apakah aku dipecat?"

Cassilas tidak mengacuhkanku. Dia berjalan keluar dan menutup pintu. Saat itu aku langsung tersungkur di lantai. Rasa nyeri di lututku karena terbentur ke lantai sama sekali tidak ada apa-apanya dibandingkan rasa sakit di hatiku karena baru saja kehilangan Cassilas. Rasanya aku baru saja kehilangan sebagian jiwaku. Oh Tuhan.

*****

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 21 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

THIRSTY MAIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang