Jeda'34

453 67 16
                                    

Happy Reading 🌱

Terdengar bunyi bel tanda jam belajar mandiri sudah di mulai. Di Pondok Pesantren Al-Furqan jam belajar mandiri baru di mulai jam sembilan malam, karena ba'da isya biasanya para santri mendapat pembelajaran kitab tambahan bagi yang sudah senior. Bagi yang santri baru ada pendalaman bacaan Alquran.

Gus Fahrul mengajak Gus Adnan dan Gus Amran untuk berkeliling pesantren. Selain karena mendapat tugas dari Kyai Fahmi untuk mengontrol para santri, mereka juga sekaligus ingin mengetahui perkembangan dari pesantren itu.

Saat berkeliling, mereka tertarik pada beberapa santri yang tengah berdiskusi di sisi asrama. Sepertinya mereka santri aliyah karena ilmu yang mereka bahas sudah sampai pada bab zakat. Bahkan mereka terdengar tengah memperdebatkan tentang perhitungan nishob zakat.

Gus Amran tersenyum lalu berucap lirih, "Di sini mereka hanya belajar teori, tapi saat mereka benar-benar mendapatkan pertanyaan-pertanyaan itu di lapangan, mereka butuh bahasa khusus agar orang-orang awam di luar sana paham sama penjelasan mereka. Karena lebih sulit memberi pemahaman pada masyarakat awam, dibanding pada teman sekelas."

"Hmm ...." Gus Fahrul menyimak..

"Bukankah harusnya jauh lebih mudah memberi penjelasan pada orang awam dibandingkan dengan santri yang juga sudah paham ilmunya? Karena kemungkinan untuk berdebat pasti tidak ada." Sepertinya Gus Adnan memiliki pemikiran berbeda.

"Hmm, justru karena mereka tidak paham ilmunya, kadang ada di antara mereka yang ngeyel dan merasa benar sendiri. Hingga pemahaman yang kita kasih sama mereka kadang mental dan berubah menjadi perdebatan."

"Pantas saja jika Imam Syafi'i berkata bahwa saat berdebat dengan kelompok orang pintar, dia akan selalu menang, sementara saat berdebat dengan orang bodoh, dia selalu kalah. Haha ... " Gus Fahrul menimpali ucapan Gus Amran.

"Ennah, karena mereka yang tidak paham akan landasan ilmunya akan lebih susah memahami," tambah Gus Amran.

Keduanya tertawa bersamaan, sementara Gus Adnan hanya tersenyum. Sepanjang perjalanan berkeliling mereka malam itu tak lepas dari sapaan santri yang langsung berhenti dan berdiri menunduk takdzim hingga mereka bertiga melewatinya. Ciri khas dari pesantren salaf yang masih menjunjung tinggi adab terhadap guru dan keturunannya.

Jeda༊*·˚


Bu Nyai Ana nampak ragu untuk menyibak selimut dan duduk di samping suaminya. Biasanya mereka akan menghabiskan waktu untuk mengobrol atau bercerita terlebih dahulu sebelum tidur. Namun kali ini, Nyai Ana sedikit bertingkah aneh. Pasalnya dia ingin meminta maaf atas sikapnya yang sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu pada suaminya. Kyai Fahmi yang baru saja menyelesaikan bacaan Al-Mulk-nya menatap bingung pada Bu Nyai Ana yang kini malah berdiri di sampingnya.

"Kenapa?" tanyanya lembut sembari menarik tangan wanita di sampingnya agar duduk di dekatnya.

"Ummah mau minta maaf."

"Hmm? Ummah bikin salah apa?"

"Yang dulu ...."

"Dulu?"

Bu Nyai Ana mengangguk, ada rona merah di wajahnya. Kyai Fahmi mengernyit, ia masih bingung dengan sikap istrinya yang tiba-tiba terlihat tengah menahan malu.

"Yang waktu Ummah jelek-jelekin Babah pas di rumah Kak Bagus."

"Ha?" Kyai Fahmi menaikkan alis, speechless.

Aah, melihat respon suaminya itu artinya dia belum lupa kejadian itu. Bu Nyai Ana menggigit bibir lalu mencubit lengan Kyai Fahmi dengan cubitan kecil. "Ih, mulai deh!" ujarnya.

Jeda༊*·˚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang