Jeda'13🌵

879 182 16
                                    


Happy Reading🌵

Bu Nyai Ana yang juga merupakan ibu dari Fahrul dan Najma mempunyai nama lengkap Shobahatul Munawaroh. Wanita ini memang bukan keturunan dari kyai. Dia wanita biasa yang mendapat keberkahan dengan cinta dari seorang laki-laki bernama Fahmi Anshori. Putra tunggal dari Kyai Jakfar dan Nyai Sakdiyah. Satu-satunya penerus salah satu pesantren besar di Jawa Timur.

Meski dirinya telah menjadi wanita paling berpengaruh di Pesantren Al-Fuqon, Ana tetaplah Ana. Dia tak pernah merasa dirinya lebih dari seorang santri biasa, seperti dahulu. Karena pesantren milik suaminya sekarang adalah pesantren yang dulunya juga pernah menjadi tempatnya belajar. Itulah sebabnya, sampai saat ini dia masih risih dengan sebutan bu nyai ataupun ning, meski itu dari para santri, terlebih dari kerabat-kerabatnya. Wajar jika dia menjadi kesayangan para santri, terutama santriwati.

Ana memiliki dua putri dan satu putra. Putrinya yang pertama memang bukan putri kandungnya. Melainkan putri dari saudara rodo' suaminya. Kini dia tengah berada di pesantren Al-Hidayah yang juga pesantren dari orang tua kandungnya. Putri sulungnya itu bernama Barizah Khairunnisak. Berumur tiga tahun di atas Fahrul.

Ning Bariz memiliki karakter yang lebih lembut dibanding saudara-saudaranya lain. Mungkin karena dia mempunyai abi kandung yang juga berkarakter sama. Meski sejak kecil dia terbiasa dengan didikan dari Ana dan Kyai Fahmi, tapi yang namanya karakter memang sangat susah untuk dirubah.

"Kita adakan tasyakuran, Bah?" Ana menatap suaminya.

"Ndak perlu, Ummah. Lagipula Arul kan datang dari pondok. Sama seperti Nana. Apanya yang perlu tasyakkuran? Inilah kenapa Arul nggak mau ngabarin kepulangan Arul." Fahrul segera menolak.

"Tasyakurran itu hanya sebagai bentuk rasa syukur kita pada Allah karena salah satu dari anak kita sudah menyelesaikan pendidikannya. Bukan karena kedatangan kamu saja!" tukas Ana.

Fahrul mengunci bibir, ia melirik sekilas pada Najma yang nampak mengulum senyum. Seolah mengejek dengan senyum itu. Kejelian mata Ana langsung menangkap gelagat dari dua anaknya itu. Dengan cepat ia pun menepuk punggung tangan Fahrul sambil berucap, "Ge-Er!"

Ucapan Ana itu sontak mengundang tawa seluruh orang yang ada di ruangan itu. Tak terkecuali juga Kyai Fahmi. Sementara Fahrul yang merasa jadi korban hanya menunduk sambil menahan malu.

"Kemarin kalau nggak salah pas Amran pulang, Kyai Bagus juga mengadakan tasyakuran. Iya, kan, Yah?" Giliran Kyai Fahmi yang bertanya pada mertuanya.

"Iya, tapi hanya mengundang keluarga dekat saja."

"Sayang waktu itu kita nggak bisa datang karena harus mengurus kepulangan santri," sesal Kyai Fahmi.

"Ummah, anaknya mungkin masih capek. Mbok ya disuruh istirahat dulu!" ujar Kyai Fahmi lagi.

"Sebentar, kita belum ngabarin abah sama umi kalau Arul sudah di sini."

"Nanti saja, Ummah. Sekarang kan masih ada ayah sama bunda."

"Eh iya, ya sudah kalau gitu kamu istirahat dulu! Mandi-mandi biar seger, habis itu makan bareng."

"Nana juga ya, Ummah?" pamit Najma.

Ana mengangguk seraya tersenyum. Selepas kedua anaknya pergi, Ana pun berpindah ke dekat bundanya. Sudah cukup lama Ana tidak bersua dengan mereka.

Sejak Kyai Jakfar dan Nyai Sakdiah pergi ke Arab, tugas-tugas di pesantren benar-benar langsung jatuh ke pangkuan mereka. Mulai dari nyimak santri, memberi kajian, mengontrol kebersihan yang sampai saat ini masih sering Ana lakukan sendiri, dan juga mengurus laporan pesantren. Belum lagi undangan dari berbagai pihak untuk mereka. Beruntung Ning Bariz yang sudah lulus dari pendidikan S2 nya di Maroko juga bisa diandalkan untuk menggantikan mereka setiap kali ada undangan yang tak bisa diwakilkan. Kini mereka berdua cukup bisa bernafas lega, karena Fahrul yang menjadi salah satu harapan mereka sudah kembali.

Jeda༊*·˚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang