Jeda'38🌱

466 69 70
                                    

Happy Reading 🌱

Sambil menunggu isya, Gus Adnan nampak telaten memijat kaki Umminya di dalam kamar. Netra Bu Nyai Lina menatap putra semata wayangnya dengan sedih. Pikirannya melambung pada takdir yang membawanya masuk ke pesantren ini hingga ia dianugerahi putra sesabar Gus Adnan. Sungguh, bukan tiada perjuangan baginya untuk mendapatkan hati suaminya. Apalagi jika pesona dari wanita idaman suaminya dulu jauh melebihi dia.

Dia ingat betul bagaimana dia yang hanya santri biasa harus belajar menjadi istri dari seorang putra kyai besar yang pesantrennya hanya berfokus pada pembelajaran Alquran. Bagaimana dia harus membiasakan diri mengontrol para santri yang bahkan juga diharuskan menyetorkan hafalan padanya sementara dirinya sendiri bukan hafidzah. Bagaimana ia harus berlatih setiap waktu memperbaiki bacaan Alqurannya yang ternyata masih banyak makhorijul khuruf yang perlu diperbaiki darinya. Atau juga harus punya jam tidur lebih sedikit karena harus ikut belajar menghafal Alquran.

Belum lagi dia harus belajar menerima sikap dingin suaminya setiap kali mereka berdua di kamar. Meski Kyai Azmi tak pernah berkata kasar dan tak membatasi geraknya selama di kamar, tetap saja setiap kalimat lembut yang diucapkan lelaki itu perlahan-lahan mengiris hatinya. Padahal pernikahan itu terjadi juga karena persetujuannya untuk membantu suaminya agar tetap bisa leluasa berada di dekat wanita yang disukainya. Namun, seiring berjalannya waktu, rupanya hatinya pun pelan-pelan mulai tamak.

Beruntung, usaha dan kesabarannya membuahkan hasil. Ketamakan di hatinya akhirnya terpenuhi. Kyai Azmi perlahan-lahan mulai terbiasa dengan adanya Bu Nyai Lina. Hingga lama kelamaan mulai bergantung dan berpaling padanya.

"Kemarin, di Pesantren Al-Furqan ngapain aja, Le?"

"Emh, banyak Ummi. Diskusi, keliling pesantren, dan sempet diajak ke kantor pesantren juga sama Paman, dikenalin sama orang-orang di sana."

"Wah, di sini malah belum di kenalin ke orang-orang pesantren loh."

"Ndak papa, Ummi! Pelan-pelan. Kan Adnan sudah di sini terus insyaallah."

Bu Nyai Lina tersenyum.

"Lalu, kalau sama Ning Nana gimana?"

Gus Adnan menghentikan pijatannya. Alisnya bertaut, matanya menatap bingung pada Umminya. "Kenapa Ning Nana?" dia balik bertanya.

"Nggak ngobrol apa-apa sama Ning Nana?"

Gus Adnan tersenyum sambil menggelengkan kepala. Ia lantas meneruskan pijatannya.

"Endak, ndak ada yang mau dibahas juga."

"Masa sih? Yang salah paham kemarin?"

"Itu masalahnya sama Amran, bukan sama Adnan."

"Emh, tapi kan sama kamu juga, Le!"

Gus Adnan kini tersenyum lebar sementara netranya menelisik. "Sebenernya Ummi pengen tahu apa hayoo?" Seolah paham dengan maksud Umminya, Gus Adnan mencoba memancing wanita itu.

"Ndak papa, cuma tanya."

"Ning Nana pendiem loh, Mi. Di jalan dieeem aja. Pas makan bersama juga gitu, kalau ndak ditanya, ndak ngomong. Mungkin kalau Fahrul ndak usil, mungkin Adnan juga ndak bakal tahu kalau Ning Nana bisa selucu itu. Hehe ...."

Bu Nyai Lina menangkap binar lain di mata putranya saat bercerita tentang Ning Najma. Mungkinkah tebakannya benar? Putranya tengah jatuh hati pada Ning Najma.

"Ning Nana lucu? Lucu gimana?" Sengaja Bu Nyai Lina makin memancing Gus Adnan.

"Lucu saja, pas dia dengan yakinnya bilang kalau Adnan adalah Amran, padahal di belakangnya lagi ada Amran yang asli. Hahaha, ada-ada saja."

Jeda༊*·˚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang