Jeda'8🌵

710 160 16
                                    

Happy Reading🌵

Sebuah kitab terulur ke depan Najma yang tengah melipat baju-bajunya. Yang paling membuatnya terheran-heran adalah kitab yang diulurkan teman seasramanya itu adalah kitab yang tadi dia perhatikan. Kitab milik Amran.

“Apa ini?” tanya Najma dan tak langsung mengambilnya.

Gadis bergamis cream itu itu menekuk lutut lalu duduk di samping Najma. Sementara tangannya masih mengulurkan kitab Amran.

“Ambil dulu, berat tahu!” sungutnya.

Najma menerima kitab itu tapi langsung menggeletakkannya begitu saja di atas tempat tidur.

“Namanya Amran ‘kan?” tanya gadis itu.

“Kamu jawab dulu, kenapa bisa kitab itu ada di kamu? Dan kenapa juga dikasih ke aku?”

“Emh, tadi dia titip buat kamu. Katanya lupa mau kasih ke kamu langsung tadi. Habisnya kamu nggak ikut nganterin sampe depan sih tadi.”

Benar, Najma memang tidak sempat ikut mengantar rombongan Amran hingga ke depan gerbang. Bukan karena sengaja, melainkan karena panggilan alam yang mengharuskannya ke belakang.

“Kenali aku dong, Najma!” Gadis itu menarik lengan Najma pelan.

“Loh, bukannya kamu sudah kenal?”

“Kenal dari mana?”

“Itu tadi, kamu udah tahu namanya Amran.”

“Yee kemarin juga dia kenalan di depan anak-anak. Siapa yang nggak tahu kalau nama dia Amran.”

“Haha, iya iya.”

“Iya apa, nih? Mau dikenalin?”

“Dih ngarang. Aku juga nggak kenal.”

“Masa nggak kenal tapi ngasih kamu kitab?”

“Nah makanya itu, aneh ‘kan?”

“Ah, becanda kamu nggak lucu tahu!”

“Yang becanda siapa, Sinta cantik?”

“Bilang aja kamu nggak mau ngenalin aku.”

“Dih, aku nggak sepicik itu kali. Aku emang nggak kenal dia, sungguh.”

“Sumpah?”

“Dih, apaan sih? Nggak boleh tahu maen ucap sumpah hanya untuk hal sepele. Apalagi kalau sampai pakai huruf qosam.”

Gadis bernama Sinta itu sedikit memanyunkan bibir. Dia yang notabenenya juga alumnus salah satu pesantren tak perlu diberi tahu lagi apa itu yang namanya huruf qosam.

“Kapan aku pernah bohong sama kamu? Coba diinget-inget, sejak aku kenal kamu dua tahun yang lalu, apa aku pernah berbohong?”

“Ya, enggak, sih.”

“Terus?”

Netra Sinta melirik ke arah kitab. Najma tersenyum, mengerti dengan maksud Sinta.

“Dia itu kakak tingkat aku, ketua salah satu komunitas sosial di kampus. Namanya memang Amran, dan aku emang nggak kenal dia. Aku tahu banyak tentang dia dari sahabat aku di kampus. Karena dia juga satu komunitas sama Amran.”

“Terus?”

“Terus apa? Udah itu aja yang aku tahu.”

“Dia udah punya cewek?”

“Waduh, aku nggak tahu kalau itunya. Tapi saran aku, sebaiknya jangan deh.”

“Maksud kamu? Dia sudah punya cewek?”

Jeda༊*·˚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang