⋆.˚🦋༘⋆⋆.˚🦋༘⋆-ˋˏ✄┈┈┈┈
Suara detik jarum jam bergerak berirama, diiringi semilir angin yang sesekali menyentuh anak rambut seorang gadis yang duduk tenang di bangku taman belakang sekolah. Di pangkuannya, sebuah buku tebal dengan sampul berwarna krem—benda yang selalu menjadi teman setianya. Sereia memejamkan mata sejenak, membiarkan angin membawa kedamaian sebelum kembali meneliti setiap kata yang tersusun rapi di halaman-halaman buku tersebut. —Novel itu bukan sekadar bacaan, melainkan kenangan yang hidup—pemberian mendiang ayahnya, penghubung terakhir antara dirinya dan sosok yang paling ia cintai.
Namun, ketenangan itu tiba-tiba direnggut paksa oleh suara tawa murid-murid yang entah sejak kapan sudah berdiri di hadapannya. Sereia mendongak perlahan, rasa waspada menguasai wajahnya. Di depan sana, Bastian Dewangga, dengan seragam yang berantakan dan rambut gondrong yang tidak mematuhi aturan sekolah, tersenyum miring. Di tangannya, buku novel milik Sereia sudah berpindah tempat.
"Si kutu buku ternyata lagi santai-santai, ya? Gue cari lo kemana-mana, tapi ternyata lo asik di sini," ucapnya dengan suara berat yang selalu dipenuhi ejekan.
Di sampingnya, Gehan Adiputra, lelaki dengan label 'playboy' sekolah, ikut terkekeh. "Bagusnya nih anak kita apain, ya?"
Arsita, satu-satunya gadis di kelompok itu, tersenyum lembut namun dingin. "Gimana kalau kita buang aja buku-bukunya?"
Sereia menatap mereka dengan tatapan memohon, terutama pada sosok yang berdiri diam di belakang, Rakha. —Dia tidak pernah terlibat langsung, hanya menyaksikan. Tapi itu cukup untuk menghancurkan harapan yang pernah ia miliki.—Meskipun begitu, hari ini, entah kenapa, Sereia berharap Rakha akan membelanya. Mungkin karena dalam diamnya, ada seberkas kenangan masa lalu yang belum sepenuhnya hilang.
Tanpa banyak bicara, Sereia mencoba meraih novelnya kembali, tapi Bastian, dengan tinggi badan 189 sentimeter, dengan mudah menjauhkan buku itu dari jangkauannya. Tawa mereka makin keras, sementara Sereia hanya bisa menatap dengan hati yang semakin perih. Kenangan ayahnya terasa semakin jauh, terhimpit di antara kebrutalan teman-teman sekolahnya.
Tiba-tiba, Rakha bergerak. Dengan cepat ia meraih buku itu dari tangan Bastian. Jantung Sereia melonjak, berharap bahwa dia akhirnya menemukan seseorang yang akan membelanya. Rakha menatapnya sekilas, dan untuk sesaat, Sereia melihat sesuatu di matanya. Harapan. Namun, senyum miring terukir di wajah Rakha saat ia mengoper buku itu ke Gehan.
Sereia tertegun. Harapan itu hancur.
"Buku ini," Gehan meliriknya sejenak, "terlalu berharga buat seorang kutu buku kayak lo." Ia kemudian mengoper buku itu ke Bastian, membuat permainan mereka berubah menjadi sirkus yang ditonton oleh seluruh murid yang kebetulan ada di taman itu.
Sereia berlari terhuyung-huyung mengejar, namun tubuhnya tak cukup kuat untuk melawan kecepatan mereka. Semua murid menyaksikan, sebagian merasa iba, namun tak ada yang cukup berani untuk menghentikan Bastian dan teman-temannya. Mereka takut. Takut menjadi korban berikutnya.
"Kak Bastian, tolong, kembalikan!" Suara Sereia terdengar serak, tangannya terulur memohon. Tapi Bastian hanya tertawa dan terus menuju gerbang sekolah.
Gehan yang berdiri di sampingnya merampas novel itu dan dengan kejam menjatuhkannya ke tanah. "Aduh, sayang banget nih novel kesayangan."
Mata Sereia mulai berkaca-kaca. Novel itu bukan sekadar barang. Itu adalah satu-satunya kenangan dari ayahnya—satu-satunya bagian dari dirinya yang tersisa. Dia menatap Gehan yang kini menginjak buku itu dengan tatapan penuh kengerian. Arsita dan Rakha berdiri tak jauh, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Dengan napas tersengal-sengal, Sereia akhirnya mencapai mereka. "Tolong... jangan," katanya dengan suara nyaris tak terdengar.
Arsita mendekat, wajahnya penuh kemarahan yang diselimuti kecemburuan. Dia menendang lutut Sereia hingga gadis itu jatuh tersungkur ke tanah. "Lo pikir bisa dapat perhatian Rakha? Jangan mimpi. Dia milikku!" bisiknya ke telinga Sereia sebelum meninggalkan bekas gigitan kecil yang membuat darah merembes keluar.
Namun, Sereia tidak mendengar ancaman itu. Matanya hanya tertuju pada novelnya yang kini tergeletak di aspal. Dengan susah payah, ia bangkit meski lututnya berdenyut nyeri, dan mulai berjalan pincang menuju buku itu. Namun, tiba-tiba terdengar suara klakson keras.
Bruk!
Seluruh taman terdiam. Mata-mata yang tadinya hanya menonton kini dipenuhi keterkejutan. Darah Sereia mengalir, mencemari aspal dan seragamnya yang putih kini dipenuhi noda merah pekat.
Arsita terjatuh, tubuhnya bergetar. Gehan dan Bastian membeku, terdiam dalam ketakutan yang tak terucapkan. Sementara Rakha, dengan mata yang tak percaya, menatap tubuh Sereia yang hancur di hadapannya. Tawanya yang tadi bergema di taman kini menghilang, tergantikan dengan kekosongan di hatinya.
"Hahaha... ini gak mungkin. Ini pasti mimpi..." Rakha berbisik, mencoba meyakinkan dirinya sendiri, tetapi hatinya tahu yang sebenarnya. Ini nyata. Segala ejekan, pengkhianatan, dan kekejaman itu nyata.
Plak! Rakha menampar pipinya sendiri, mencoba merasakan sakit. Tapi tak ada sakit yang lebih pedih dari kenyataan di hadapannya. Sereia—gadis yang diam-diam ia perhatikan dari jauh, gadis yang ia sukai namun tak pernah ia akui—telah pergi.
"Bangun, bodoh! Lo gak boleh pergi!" teriaknya penuh putus asa, namun tubuh Sereia tetap diam.
Sereia telah berpulang, tepat di hari ketika Rakha menyadari bahwa selama ini, perasaannya untuk gadis itu lebih dari sekadar teman.
---
01,03,24
Revisi = 25 okt 2024
By iammiciii⋆.˚🦋༘⋆⋆.˚🦋༘⋆-ˋˏ✄┈┈┈┈
KAMU SEDANG MEMBACA
SEREIA; Mencuri Peran
FantasySereia tak pernah menyangka bahwa kematiannya dalam kecelakaan tragis akan menjadi awal baru. Dia terbangun dalam dunia novel yang pernah diberikan oleh mendiang ayahnya-tetap dalam tubuhnya sendiri, namun dengan takdir yang sepenuhnya berbeda. Kini...