Kalau kata orang, jadi dewasa itu menakutkan. Jauh lebih horor daripada meet and greet sama mbak-mbak yang doyan nongkrong sambil ngupil di atas pohon. Alasannya? Berdasarkan survey kecil-kecilan yang Ibnu lakukan dengan mengobservasi teks wacana sambat dari jemaah se-Twitter seper-netizen-an ... kebanyakan manusia di masa transisi menuju quarter life crisis ini mengeluhkan ketidakjelasan masa depan, kehidupan yang nambah terus beban, ekspektasi masyarakat segede gaban, sampai sambat soal potret di KTP-nya sendiri yang kayak penampakan. Tapi kalau dianalisis dengan mempertimbangkan relevansi konteks kehidupan Ibnu sebagai seorang anak yang bentar lagi mendapat gelar S2 alias tanda kelulusan SD dan SMP ... katanya, sih, tuntutan orang tua itu paling mengerikan!
Enggak bisa dipungkiri, walau Mas Nadiem and the gang udah mengupayakan sekolah merdeka dengan aturan main yang memudahkan siswa loncat jurusan sana-sini, nyomot pelajaran sesuai minat, enggak lagi menekankan eksistensi jurang pemisah yang sarat akan ketimpangan antara rumpun ilmu alam maupun sosial ... tapi tetap saja! Dalam kehidupan nyata, enggak sedikit netizen di media sosial yang mengaku dituntut orang tua untuk masuk teknik, kedokteran ... atau jurusan saintek yang prestisius lainnya. Bagi masyarakat yang hidup di kanan-kiri rumah Ibnu sekalipun, anak yang juara olimpiade IPS masih dianggap tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan anak yang sekadar masuk jurusan IPA walau atas dasar paksaan dari pihak eksternal.
Lantas, apakah stigma yang sarat akan ketidakadilan ini perlu Ibnu berantas dengan membuktikan kesuksesan seorang anak IPS di kancah global? Tentu harus! Tapi orangnya enggak harus Ibnu. Ya lagian ngapain, dah? Ibnu mana bakat, sih, masuk dunia IPS? Orang-orang di dalamnya selalu saja memperdebatkan hal-hal yang sejatinya enggak punya kebenaran mutlak. Ibnu, sih, mending yang pasti-pasti aja. Bahas pitagoras, tinggi, lebar, volume, luas permukaan, kecepatan ... hal-hal senyata oksigen yang kita hirup ... hal-hal nyata seperti sulfur, metana, dan hidrogen, yang biasa kita keluarkan kalau lagi kentut.
"Bentar lagi kamu masuk SMA, ya, Nu."
Hah? Kentutnya masuk lagi? Eh, masuk SMA, maksudnya. SMA? Sekolah Menengah Aroma kentut? Ibnu mengerjap cepat. Kok jadi kentut mulu, sih! Sebelum pantatnya benar-benar meledakkan bom asap, Ibnu segera menyadarkan diri bahwa dirinya sedang berada di depan meja makan. Dipandanginya perkedel yang sudah Ibnu penyet seperti eek. Ups ... bahas begituan pas lagi makan, kan, enggak sopan, ya? "Iya, Yah. Bentar lagi aku kent ...." Bjir, salah server! "Maksudnya, bentar lagi akuuu kenaikan kelas, hehe. Lulus, deng. Udah mau ujian."
Ayah ngangguk-ngangguk. Hening kembali mengudara ketika pria menjelang usia paruh baya tersebut berkonsentrasi mengunyah makanan dalam mulutnya.
Ibnu jadi bengong. Dipandanginya isi piring Ayah yang hendak tandas, lalu pindah ke piringnya sendiri. Piring Ayah ... piring Ibnu. Netra hitam legam itu bolak-balik membandingkan sisa nasi dan lauk di atas piring keduanya. Ayah udah mau selesai! Kalau waktu yang dibutuhkan Ayah untuk menghabiskan satu sendok makan adalah lima belas detik dengan rasio antara volume muatan nasi dalam satu sendok Ayah dengan satu sendok Ibnu sebesar empat banding lima, mungkin Ayah akan menandaskan makannya ketika Ibnu ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Warga Negara Ibnu-Nesia
Ficção AdolescenteLulus sekolah nanti, mau jadi apa? Dokter, pengacara, tukang doktrin karakter, atau pengangguran banyak acara? Di antara beragam profesi yang biasa digunakan sebagai standar kesuksesan, Ayah malah menyarankan Ibnu buat jadi caleg! Ayah bilang, "kala...