Munaroh ngeteh sambil dipangku ... kata gue teh, menyala abangkuh! Operasi perhitungan imajiner di kepala Ibnu langsung buyar seketika. Ada drama yang lebih menarik di dekat gerbang sana. Yang bener aja enggak nonton? Rugi, dong!
Masih menempelkan tangan kanan di jidat, Ibnu mulai memiring-miringkan badan untuk menengok situasi di dekat gerbang depan. Posisi berdirinya memang persis menghadap arah gerbang. Hanya sebuah pilar dekat ruang tata usaha yang menghalangi jarak pandang Ibnu. Dari pengamatan sekilasnya, sih, di depan sana ada seorang anak perempuan dengan rambut ikat kuda yang tengah bersitegang dengan Pak Uzaz. Ibnu menyebutnya gagah dan pemberani. Anjay!
"Lho, itu risiko kamu, dong." Suara berat Pak Uzaz terdengar. Tentu tidak ditujukan kepada Ibnu, tetapi malah anak laki-laki itu yang merasa terintimidasi. Ibnu ketar-ketir sendiri. Sementara itu, Pak Uzaz tampak melanjutkan dialognya di dekat gerbang sekolah yang sudah ditutup rapat. "Sudah tahu ada hukuman yang harus kamu jalani kalau datang terlambat. Berarti harusnya apa? Ya ... harusnya jangan datang terlambat, dong! Bukankah begitu, Neysa Fathiyya?"
Neysa? Namanya kayak enggak asing, deh. Siapa, ya? Nama yang masih punya tunggakan utang? Atau caleg yang namanya dipajang di baliho setiap persimpangan? Ibnu nge-lag sejenak hanya untuk menggali folder ingatannya di ceruk terdalam.
Oh, benar! Itu, kan, teman sekelasnya di tahun ketiga ini. Warga kelas SMPN Pasundan Tasikmalaya memang diacak setiap kenaikan kelas. Sekarang sudah menjelang pertengahan semester pertama sebagai anak kelas sembilan, tetapi makhluk nolep macam Ibnu yang payah dalam beradaptasi ini, ya ... tentunya belum berinteraksi banyak dengan penduduk kelas. Enggak heran kalau nama Neysa jarang menyapa telinganya. Tapi kalau diingat-ingat lagi, anak perempuan itu sepertinya cukup aktif dalam kelas, deh. Neysa si Master Debat yang Nasionalis Abis ... bukankah itu gelar yang disematkan anak kelas kepadanya?
Ah, mbuhlah! Ibnu sudah pikun. Ngapain juga mendadak ia peduli soal begituan? Masa cuma karena Ibnu lagi butuh pencerahan untuk menyuarakan keengganannya masuk IPS kepada Ayah?
"Terima kasih sudah mengingatkan, Pak. Saya sepenuhnya sadar akan konsekuensi yang ada jika saya terlambat datang ke sekolah. Akan tetapi, nyatanya, tidak semua orang memiliki free-will seutuhnya untuk menghindari keterlambatan tersebut setiap hari." Tatapan Neysa tak beralih sedikit pun dari Pak Uzaz, berusaha meniadakan kesan ragu yang bisa ditangkap wakasek kesiswaan tersebut walau hanya setitik.
Pak Uzaz berdeham panjang. "Kamu sedang membela diri? Apakah kamu akan memaparkan argumentasi yang sama ketika yang terlambat bukanlah kamu? Peraturan kita ini sudah berjalan sejak lama, lho. Ke mana saja kamu selama ini? Baru buka mata dan menyatakan ketidaksetujuan di saat situasi kamu sedang tidak diuntungkan?"
"Dengan sepenuh hormat kepada Bapak selaku wakil kepala sekolah Nepatas, Pak ... saya tidak bermaksud membenarkan tindakan terlambat itu sendiri. Saya akui saya bersalah, dan saya berhak untuk dihukum. Yang ingin saya pertanyakan di sini adalah letak urgensi dari kebijakan Bapak serta pihak sekolah dalam menentukan jenis hukuman untuk siswa yang melanggar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Warga Negara Ibnu-Nesia
أدب المراهقينLulus sekolah nanti, mau jadi apa? Dokter, pengacara, tukang doktrin karakter, atau pengangguran banyak acara? Di antara beragam profesi yang biasa digunakan sebagai standar kesuksesan, Ayah malah menyarankan Ibnu buat jadi caleg! Ayah bilang, "kala...