"Oke, deal!" final Ibnu dengan kedua alis mengerut dan pipi bersemu kemerahan. Menyadari sensasi panas tersebut mulai terasa menjalar ke area telinga, Ibnu pun memalingkan muka dari jarak pandang Neysa. Jangan sampai anak perempuan itu melihatnya dalam kondisi memalukan begini. Aaaa! Bundaaaa! Ingin Ibnu pulang dan mengadu pada sang ibu. Masa ada cewek yang perhatian padanya, sih? Apakah ini pertanda kalau Ibnu sudah tumbuh besar? Duh! Ge-er total jadinya! Kenapa Ayah-Bunda belum pernah cerita kalau melalui masa pubertas akan sebegini ribetnya?
Segala pergerakan Ibnu refleks terhenti karena kelimpungan mengatur ritme debar jantungnya yang macam menggedor dada. Cukup! Mulai enggak jelas, nih! Jam istirahat bisa berasa seabad lamanya kalau begini terus. Ngapain Ibnu merespons segala perhatian Neysa yang SEWAJARNYA itu dengan hiperbola? Neysa hanya menyadari kecintaan Ibnu pada matematika, cukup sampai di sana. Enggak ada spesial-spesialnya, kok. Lebih spesial nasi goreng Mas Cokro yang suka buka depan gerbang Nepatas kalau hari mulai sore.
Dengan sebuah dehaman kaku dan kondisi hati yang mulai terkendali, Ibnu melirik Neysa yang gesit merapikan susunan buku di atas rak sembari menyenandungkan lagu Berkibarlah Bendera Negeriku. Emang boleh senasionalis itu? Kalau mau bikin Neysa naksir, Ibnu harus cosplay jadi bendera merah-putih dulu kali, ya? Demi melihat sosok Bu Ririn melintas bolak-balik di ruang perpustakaan untuk melayani anak-anak yang berkunjung, Ibnu langsung menyibukkan diri pada buku-buku bagiannya yang masih berserakan di lantai. Kalau ketahuan enggak kerja, bisa-bisa kerjaan Ibnu ditambah double-double!
Meski sudah fokus pada rak masing-masing, Ibnu masih saja menyempatkan diri untuk lirik-lirik ke arah Neysa. Untung tindakan curi-curi pandang tidak dirumuskan dalam delik undang-undang sebagai tindak pidana. Bayangkan bagaimana jadinya kalau Ibnu ditangkap aparat atau sampai digebuk massa gara-gara pandangan yang ia curi? Jadi kriminal, kok, tanggung-tanggung. Enggak elit amat!
Ekhem! Lagi, Ibnu berdeham. Kali ini ia lanjutkan dengan kalimat pembuka konversasi, "Syarat ngajarin pelajaran MIPA udah clear. Dua syarat lainnya gimana?"
"Lho, syarat pertama juga udah hangus." Neysa berseloroh tanpa merasa perlu menghadap lawan bicaranya. Anak perempuan itu bekerja dengan totalitas. Makin cepat selesai, makin cepat kembali ke kelas, makin banyak sisa waktu yang bisa ia alokasikan untuk belajar. "Waktu mau masuk kelas tadi, aku minta buat kita bahas kontrak ini nanti-nanti. Ingat? Permintaan itu udah kamu penuhi."
Agak di luar nurul. Tapi baiklah. Anggap saja ini diskon menjelang tahun baru. Lumayan. Ibnu mengangkat bahu tak peduli. "Jadi, syarat terakhirnya?"
"Permintaan terakhirku ... aku mau kamu mengabulkan semua permintaanku."
"Hah?" Ibnu mengerjap lama. Oh, sial. Cerdas sekali! Pemikiran Neysa out of the box, ya. Ibnu sama sekali enggak terpikirkan adanya kemungkinan permintaan semacam itu, sebelumnya. Dengan tampangnya yang polos begitu ... Neysa mengerikan juga, ternyata! Ibnu sampai merinding enggak jelas. "Oke."
"LAH?!"
Seruan spontan sarat akan ketidakpercayaan dari Neysa bikin Ibnu terlonjak kaget. Bu Ririn pun sampai mendesis dengan telunjuk di depan bibir, memperingatkan keduanya untuk bekerja tanpa membuat kebisingan.
Atensi Neysa sudah sepenuhnya teralihkan dari deretan buku di dalam rak. Neysa berkacak pinggang menghadap Ibnu yang kebingungan. Manik cokelat terangnya melotot. Ibnu merasa bola mata itu akan membesar, membesar, terus membesar ... hingga membentuk portal yang sanggup menyedotnya ke dunia fantasi antah-berantah. Tapi di atas segalanya, ada hal yang lebih penting untuk diurus: Neysa tampak marah. Ibnu mikir jungkir balik untuk mengingat-ingat kembali segala tindakannya selama jam istirahat ini. Tapi mau dipikir sampai Upin-Ipin pakai rambut model cepmek sekalipun, Ibnu sama sekali tak menemukan jawabannya. Apa salah Ibnu?
Ibnu mengkeret, mundur beberapa langkah ke belakang, menghindari Neysa yang sudah siap mengamuk. "Oke? Kamu bilang oke?" Neysa melipat kedua tangannya di depan dada. "Harusnya kamu tolak, dong! Kesepakatan kita, kan, cuma tiga permintaan aja. Kalau tiba-tiba aku pengennya semua permintaan, jelas itu kontradiktif! Enggak sah!"
Lha ... Ibnu cengo. Jadi permintaan Neysa yang Ibnu anggap brilian itu cuma ngetes aja? "Ya ... ya, tapi ...."
"Ssshh," desis Neysa. Aura mengerikannya sudah pudar dibawa terbang oleh angin di tengah siang gersang yang merembes lewat ventilasi. Kini, anak perempuan itu menyeringai iseng. "Kalau ada orang enggak dikenal yang nawarin permen, jangan mau, ya."
Blush! Apa, sih? Ibnu mangap-mangap enggak keruan. Dia ingin menyangkal tak terima, tapi malah gelagapan. "Idih! Aku bukan bocil! Enggak usah sok lebih dewasa, ya!"
Demi mendengar bantahan dari lawan bicaranya, Neysa tertawa puas. Kala itu, selain dapat privilege menyaksikan bagaimana lengkung kurva memesona di bibir tipis Neysa tercipta, diiringi alunan cempreng gelaknya yang indah walau macam angsa kebelet berak ... Ibnu juga bisa melihat kepingan-kepingan harga dirinya yang hancur tak berbentuk.
Detik demi detik berlalu, tapi kabar menyebalkannya adalah: Neysa masih saja tertawa. Bu Ririn sudah menegurnya. Volume suara pun sudah Neysa kecilkan, tetapi masih saja ada kekehan kecil yang lolos dari mulutnya. Bikin Ibnu tambah dongkol, deh! Ibnu mendengkus gusar. Zat oksigen ia hirup dengan kasar. Relung paru-parunya terisi banyak, seakan tak mau berbagi dengan Neysa. Kalau seluruh stok oksigen di atmosfer ini habis oleh Ibnu ... rasakan! Pasti Neysa akan tersedak tawanya sendiri dan menyesal. "Jadi apa syarat terakhirnya?"
Nada ketus Ibnu tak memengaruhi Neysa sama sekali. Kikikan gelinya kini bisa dijeda sejenak. "Oh, ya. Aku cukup minta komitmen kamu aja buat menjalankan perjanjian ini dengan konsekuen. Nanti kita bikin MoU-nya di kelas sebelum jam masuk, ya. Makanya cepat bereskan buku-buku itu! Aku, sih, udah mau selesai."
Ibnu mengernyit. Kekesalannya kalah jumlah dengan rasa penasaran yang membludak dari penjuru pikiran. "Em-o-Yu? Idol K-Pop dari boy group mana pula itu? Ah ... tidak mungkin. Katanya Neysa si Master Debat yang Nasionalis Abis. Masa anuannya oppa-oppa Korea, coba? Cintai dulu produk lokal, dong!" Produk di keranjang kuning yang namanya Ibnu Raharja, misalnya ....
"Apa, sih? MoU, MoU. MoU itu singkatan dari Memorandum of Understanding! Lagian, ya ... walau aku enggak kenal orang Korea selain Kim Jong Un, nasionalis itu kewajiban setiap warga negara, tahu! Enggak boleh mengkotak-kotakkan seolah anak K-POPers enggak boleh punya sikap nasionalis."
Aduh. Ibnu mana merhatiin, sih, sama argumen Neysa soal kotak-kotak K-Pop dan Kim Jong Un itu? Ibnu udah keburu ke-distract sama informasi yang baru saja didapatnya. MoU itu singkatan dari Memorandum of Understanding! Ibnu mengerjap-ngerjap. Understanding? Apakah hubungan mereka sudah sampai di tahap saling memahami? Ibnu nyengir enggak jelas.
Cihuy! Saling understanding, nih, ceritanya? Boleh juga, Neysa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Warga Negara Ibnu-Nesia
Roman pour AdolescentsLulus sekolah nanti, mau jadi apa? Dokter, pengacara, tukang doktrin karakter, atau pengangguran banyak acara? Di antara beragam profesi yang biasa digunakan sebagai standar kesuksesan, Ayah malah menyarankan Ibnu buat jadi caleg! Ayah bilang, "kala...