Kalau diminta mendefinisikan diri untuk diklasifikasikan ke dalam strata sosial berupa hierarki vertikal tertentu di antara warga kelas lainnya ... bisa dibilang, Ibnu ini manusia setengah-setengah. Bukan manusia setengah salmon, bukan pula setengah kuda setengah dugong. Maksudnya adalah ... Ibnu bukan tipikal siswa yang menonjol, tetapi tidak termasuk golongan yang terbelakang juga. Rapor akademiknya biasa saja, malah nyerempet ambang batas ketuntasan minimal untuk nilai mata pelajaran di ranah soshum, tapi enggak ancur-ancur amat untuk bertahan di ranking sepuluh besar dari total empat puluh siswa sewaktu kelas delapan kemarin.
Hidup Ibnu sejatinya memanglah setengah-setengah; setengah niat, setengah enggak. Ibnu bukan tipikal anak yang berambisi meraih pencapaian tertentu, tapi ia cukup diuntungkan dengan kesenangannya dalam belajar, apalagi kalau sudah menyangkut hitung-hitungan. Kalau murid lain mengaku memaksakan diri untuk menguasai setiap bidang sebagai bentuk penyesuaian terhadap sistem pendidikan Indonesia yang serba distandarisasi dan digeneralisasi ini, Ibnu justru hanya belajar untuk kesenangannya semata.
Hal yang menarik adalah definisi kesenangan menurut kacamata seorang Ibnu; bukan kesenangan ketika mendapat skor terbaik, ranking paralel, atau disegani teman sekelas karena bisa memahami pembelajaran dengan baik, melainkan suatu kesenangan berdaya ledak tinggi yang selalu ia rasakan ketika menelusuri proses operasi perhitungan untuk memecahkan permasalahan tertentu. Makin sulit soalnya, makin rumit jalannya, makin berbelit caranya ... makin bangkit pulalah semangat Ibnu untuk mencapai garis akhir penyelesaian!
Meski terdengar keren begitu, Ibnu hanya suka menunjukkan kecintaannya pada angka dan dunia hitung-menghitung di ranah pribadi saja. Di kelas? Ibnu tidak membiarkan informasi terkait hubungan spesialnya dengan angka-angka diketahui orang. Ibnu memang cukup sering berinteraksi dengan bilangan. Kalau tangannya menggenggam pulpen yang menari di atas permukaan kertas, diperkirakan besar kemungkinannya 90% bahwa yang sedang ia tekuni adalah operasi hitung-hitungan. Sisa 10%-nya untuk kepentingan lain seperti mengerjakan tugas. Seandainya saja ada orang yang mau memperhatikan, hubungan Ibnu X Matematika ini harusnya sudah menjadi suatu rahasia umum. Namun, entah kabar baik atau justru menyedihkan, nyatanya ... tidak ada satu spesies yang mendekat sepersekian mili pun walau untuk sekadar menyentuh membran permukaan luar hidup Ibnu.
Dengan minimnya hawa keberadaan Ibnu di antara warga kelas 9E tersebut, Ibnu tak pernah membiarkan tumbuhnya ekspektasi berlebih, apalagi untuk halu-halu yang un-faedah. Ibnu sadar betul, sekuat apa pun status manusia sebagai makhluk sosial yang menjunjung tinggi nilai-nilai kolektivitas, pada akhirnya, orang-orang hanya akan memedulikan dunianya sendiri. Tidak ada manusia yang betul-betul menempatkan orang lain di atas kepentingan dirinya sendiri.
Akan tetapi, segala hukum alam yang Ibnu yakini terpaksa disumpal begitu saja gara-gara pernyataan Neysa yang mengudara di kala keduanya kembali bertemu di ruang perpustakaan untuk menunaikan hukuman dari Pak Uzaz. "Ajari aku mata pelajaran MIPA sampai bisa melepaskan diri dari jeratan remedial di UTS nanti," putus Neysa, "nanti aku terima permintaanmu untuk latihan berargumen. Kamu jago ngitung, 'kan?"
Dua-tiga nenek bungkuk-bungkuk ... eh, bjir, Ibnu terciduk! Anak laki-laki itu melotot tak percaya. Tangan Ibnu tremor hebat sampai sempat-sempatnya membenahi buku paket berukuran besar-besar di genggamannya untuk disimpan di atas lantai terlebih dahulu, takut tergelincir karena cucuran keringat dingin yang mengalir deras di telapak tangan. Demi apa, sih? Hubungan backstreet-nya dengan matematika sudah ketahuan? "Kok ... kok, tiba-tiba? Emang kamu yakin, aku cukup kompeten buat bikin kamu bisa ngerjain soal hitung-hitungan?"
Tak mengindahkan reaksi dramatis Ibnu, Neysa hanya mengedikkan bahunya dengan santai. Manik cokelat terang itu tak lepas sesenti pun dari penampakan deret buku di rak yang sedang ia jamah untuk diatur tata letaknya. Seolah tak mau kehilangan satu detik pun untuk sekadar berbincang menghadap lawan bicaranya, Neysa melanjutkan kalimatnya selagi menyelesaikan pekerjaan dengan gesit. "Yakin. Kenapa enggak?"
"Di kelas kita ada Galih si peraih ranking paralel dua tahun berturut-turut, ada Adis juga yang langganan olimpiade mewakili Nepatas. Ngapain minta berguru ke aku? Why me? I was not even good enough for the fifth place last time. I have nothing to give you ...."
"Enggak usah campur-campur Inggris, deh." Neysa mendadak menghentikan pergerakan tangannya yang lincah. Kini, anak perempuan itu menatap Ibnu lurus-lurus seraya berkacak pinggang. "Belajar Inggris emang penting. Pengaplikasiannya dalam sehari-hari pun menunjang banget buat meningkatkan kemampuan berbahasa asing. Yah ... aku juga takut dikatain kolot, konservatif, atau apalah gara-gara terang-terangan bilang begini. Tapi nyatanya, aku juga enggak se-anti itu, kok, sama Inggris. Aku akui, aku pun masih perlu banyak belajar untuk itu. Tapi dalam interaksi kita sebagai sesama warga negara Indonesia, di luar jam pelajaran bahasa Inggris, dan sama-sama enggak punya urgensi tertentu buat berbahasa asing ... aku mau kita sepenuhnya memakai bahasa persatuan, bahasa Indonesia!"
Neysa Fathiyya, N-nya Nasionalis abis, S-nya Sewot akut. Ibnu merotasikan kedua bola matanya, malas. Bilang aja enggak ngerti bahasa Inggris! "Baik, Nona. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya." Au ah, gumoh. Nyinyirnya Ibnu yang enggak bisa masuk ke mode silent itu bikin perhatian Ibnu cukup teralihkan, tetapi tak bisa disangkal-sangkal, ia masih amat penasaran. Tangannya mulai membenahi kembali buku-buku yang berserakan di atas lantai. "Jadi, kenapa? Kenapa aku? Kenapa kamu seyakin itu sama aku? Kenapa kamu ...." Kenapa perhatian sama Ibnu sampai tahu matematika sebagai cinta pertamanya?
"Karena aku yakin kamu lebih dari mampu untuk itu."
"Walau rankingku jauh di bawahmu?"
Neysa berdecak. Ia sudah muak terus-terusan ngasih khotbah tentang sisi gelap sistem ranking dan standarisasi dalam kehidupan pelajar Indonesia. "Tiga alasan. Pertama, ranking itu hasil generalisasi seluruh mata pelajaran, enggak spesifik mengerucut ke ilmu alam. Kedua, ranking juga diperoleh dari penilaian guru pengampu mata pelajaran kita yang tentunya melibatkan unsur-unsur subjektivitas di dalamnya. Ketiga, aku enggak lebih jago dari kamu kalau soal hitung-hitungan."
"Kata siapa aku lebih jago?"
"Dari tiga argumentasiku tadi, kamu cuma fokus sama yang terakhir aja. Oke. Makasih udah membuktikan kalau manusia emang hanya tertarik pada apa yang bersangkutan dengan dirinya saja." Neysa mengangkat alis dengan bangga, seolah prediksinya memang tak pernah meleset sedikit pun. Atensi Neysa kembali terpusat pada pergerakan tangannya yang sudah aktif lagi untuk lekas terbebas dari beban tugas. "Tapi pertanyaanmu barusan juga memverifikasi adanya tipikal manusia yang tidak sadar diri. Asyik sendiri bucin-bucinan sama angka di pojok kelas, selalu menyelesaikan soal matematika sebelum ditugaskan Pak Prana, mengerjakan soal mandiri tanpa perlu menunggu instruksi penugasan dari guru ... itu apa namanya, kalau bukan ahli matematika yang maniak angka?"
Lho, lho, lho ... enggak bahaya ta? Memangnya Ibnu se-terbuka itu, ya? Kapan? Rasanya Ibnu tak pernah beraksi mencolok sekali pun, deh. Ibnu melotot. Jantungnya serasa mau meledak saat itu juga. Aduh! Enggak kepedean, kan ... kalau Ibnu menganggap Neysa amat memperhatikannya selama ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Warga Negara Ibnu-Nesia
Novela JuvenilLulus sekolah nanti, mau jadi apa? Dokter, pengacara, tukang doktrin karakter, atau pengangguran banyak acara? Di antara beragam profesi yang biasa digunakan sebagai standar kesuksesan, Ayah malah menyarankan Ibnu buat jadi caleg! Ayah bilang, "kala...