Akibat ujaran serta serapah yang dilontarkan sang ayah siang tadi, malam ini Nao belum jua melanglang menuju mimpi. Tidurnya tak tenang meski jam sudah menjejaki pukul dua dini hari. Mencari posisi ternyaman di ranjang seakan sia-sia. Kenyamanannya hilang lesap bak air yang berangsur-angsur diisap bentala.
Kala mata cokelatnya masih tertuju pada langit-langit kamar, kepalanya riuh mengudarakan kalimat; sebenarnya apa yang kamu harapkan pada Otou-san, Nao?
Berharap mungkin sudah menjadi kata yang kerap mengudara dalam kamus hidupnya, seringkali dipakai dan berujung diabaikan begitu saja. Sederhananya, hanya membuang waktu serta usaha.
Biar berapa kali Nao memanjatkan asa pada semesta, percuma, suara pintanya itu seolah teredam oleh persoalan lain yang bagi Papa jauh lebih penting alih-alih dirinya.
Nao merasa hidup di dunia hampa. Sendirian tanpa siapa-siapa. Tanpa asa. Tanpa cahaya.
Kantuk tak jua datang menyambangi, sang dara memilih 'tuk melayang ke dunia imaji, diiringi sepi yang tetap setia merajai.
Dunia imajinya menambah koloni karakter asing, kerumunan kelabu yang pemilik raga yakini ialah burung gagak berbulu sekelam malam. Nao bergidik sendiri tatkala ketua gerombolan gagak menyerukan koak menusuk rungu, sebab rasanya bak ditikam suara derit nan ngilu.
Bunyi-bunyi itu saling berkesinambungan serupa paduan suara di tengah opera, dan yang berperan sebagai penonton adalah dirinya. Meski sudah menepuk-nepuk kepala agar menghalau sumbangnya nyanyian musisi berupa hewan tersebut, mereka justru kian melantunkan bahana tak mengenakkan itu.
Lambat laun koak itu kian menggema hingga sukses memenuhi rongga telinga, seakan suntik anestesi raga Nao lemas tanpa tenaga. Kesadarannya lamat-lamat melebur, nyanyian kerumunan kelabu beralih bagai nina bobo sebelum tidur.
Sejenak sebelum sepasang matanya tertutup sempurna, samar ia lihat dari langit-langit dunia hampanya itu, para burung gagak berbulu sekelam malam bernyanyi dengan suara parau rendah.
Bunyi nyanyian itu berangsur berubah jadi koak yang saling tumpang-tindih, dan berubah menjadi tawa yang menertawakan dirinya.
──
Rabu yang kelabu. Tak ubahnya serupa hari Nao kala itu.
Otou-san belum mengangkat suara sedari tadi. Nao jua turut menutup mulutnya kendati ada banyak kalimat yang berseliweran di kepala, sanubari si dara juga mengudarakan hal serupa: ingin sekali berdamai dengan sang ayah.
Mobil yang ayah-anak itu kendarai diliputi hening, kedua insannya menyepi seraya mengintrospeksi diri masing-masing. Terutama sang pria paruh baya. Sebab dapat dilihat roman mukanya seakan membawa beban satu dunia.
Sang anak mengarahkan lensa netra ke luar jendela. Nao senang melihat kerumunan kota, terlebih di jalanan kala pagi menyapa. Ada beragam orang yang bisa manik matanya tangkap seperti; riuhnya pejalan kaki melewati Shibuya; anak-anak remaja sebayanya yang saling melempar canda; serta para budak korporat yang tengah dikejar waktu 'tuk bekerja.
Jalanan selalu ramai, tak pernah sekali pun sepi.
Tiba di area sekolah Nao, SMA Miyamoto, gadis itu lantas turun dari mobil tanpa mengatakan sepatah kata pun. Sang ayah juga demikian. Bertemu muka saja tidak.
Nao mengedikkan bahu kala sedan hitam Otou-san melaju menuju kantor tempat beliau bekerja. Netra cokelatnya tak lekang sampai kendaraan roda empat itu hilang berbaur dengan transportasi lain. Ia menghembuskan napas panjang, seolah melepas semua beban yang sudah lama bersarang.
"Nao-chan!" pekik seorang gadis dari arah belakang yang lantas merangkul bahu sang dara. Tak lama, bilamana sepasang netra gadis itu terpaku pada memar yang terpatri di lutut Nao, segera saja tanya berderet menyapa kedua belah telinga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Koishiteru
Teen FictionKetika kata tak bisa diucapkan, hanya isyarat yang ia tunjukkan. ──── Semestanya membisu. Ia kerap dirundung kelabu. Kala satu suara datang menyapa rungu, dan dunianya mulai mendapat warna baru. Akan tetapi ada satu yang ia tidak tahu, bahwa setiap...