Entah sudah ke berapa kali Nao menguap hari ini, selama satu jam saja mungkin ada enam kali ia menguap, rasanya ia ingin segera pulang dan berbaring di ranjang kesayangannya. Nao mengantuk berat. Nao menyeka air mata yang sedikit keluar, lalu kembali membaca buku di depannya dengan malas. Rasanya waktu berjalan begitu lambat.
Ia tidak kuat lagi. Ia menutup buku dan menjadikannya alas kepala, kemudian meletakkan kepalanya di atas lipatan tangan, wajahnya menatap langsung ke luar jendela. Langit sedang berbahagia sekarang. Nampak dari sang bintang utama, matahari, yang bersinar cukup terik, ditambah temannya si kapas raksasa, awan. Oh jangan lupa, langit biru bak lukisan sebagai kanvasnya.
Sekilas Nao teringat sesuatu, tentang permintaan Noa kemarin. Nao tersenyum kecil, pemuda kemarin benar-benar lucu, dan Nao begitu penasaran dengannya.
Nao ingin mengenal dunia Noa.
Tahu-tahu sesuatu tiba-tiba jatuh di kepalanya, seketika Nao mengangkat kepala lalu mendapati gulungan kertas di sana. Nao membuka gulungannya, terdapat tulisan di sana.
'Hai Nao, aku di sini!'
Siapa? Nao bingung.
Lalu tak lama sebuah kepala muncul dari sekat seberangnya, ia tersenyum seraya melambai kecil ke arah Nao, itu Noa, panjang umur.
Nao membalasnya kemudian memberikannya kepada Noa.
'Mengapa tiba-tiba kamu ada di sini?!'
Dengan cepat Noa membalas.
'Belajar. Kamu?'
Nao berdiri sejenak, melihat ke meja Noa yang terdapat beberapa buku. Pemuda itu jujur.
'Aku juga belajar'.
'Tapi tadi aku lihat kamu sedang tidur'.
Nao termangu membaca balasan Noa, kemudian merasa malu sendiri. Pipinya merona.
'Tidak ada, tahu!'
Nao memberikannya sambil berdecak kesal. Noa terkekeh kecil.
'Kamu sangat menggemaskan jika sedang marah'.
Nao sedikit lama membalas, membuat Noa berdiri mengintip Nao.
"Astaga! Kamu membuatku terkejut!" seru Nao, ia segera menutupi kertas surat-menyurat mereka berdua, lalu menyuruh Noa duduk menunggu sebentar, Noa mengangguk.
'Noa-kun, aku ada permintaan, boleh?'
Noa membalas.
'Boleh'.
Nao senang, sesegera mungkin ia membalas.
'Apa aku boleh mengenal duniamu?'
Kemudian satu kertas datang lagi.
'Aku ingin mengenal duniamu'.
Keduanya saling bertatapan. Nao tidak melepaskan tatapannya dari netra biru-abu milik Noa barang sedetikpun. Noa menundukkan kepalanya, menulis pesan balasan.
'Boleh'.
Kertas kedua datang.
'Dan, maukah kamu juga mengenalkan duniamu kepadaku?'
──
Bel pulang sekolah sudah berbunyi sedari tadi. Sekarang masih pukul empat, tapi matahari sudah menutup diri, berganti awan-awan juga bulan kecil sebagai penghias langit.
Hari ini Nao tidak dijemput, Papa ada kesibukan lain jadi akan sangat sibuk, Nao tidak ambil pusing, justru ia senang.
Tungkainya berjalan meninggalkan sekolah yang sudah sepi, ia memegangi tali tasnya lalu menipiskan bibir, memerhatikan sekitar. Matanya tertuju ke seberang sekolah, kedai takoyaki. Perlahan Nao menyeberangi jalanan yang sedang lenggang, lalu menuju kedai takoyaki kesukaannya. Untungnya kedai itu sedang sepi, sehingga Nao dengan cepat mendapatkan takoyaki yang ia pesan.
"Arigatou gozaimasu!"
Nao mendapati bangku kosong di pinggir jalan, tak jauh dari kedai takoyaki tadi. Ia memilih duduk sejenak sembari menikmati makanannya, ia juga berniat pulang agak terlambat hari ini, ia ingin berkeliling sebentar, menikmati musim semi di Tokyo. Ditemani kesendirian Nao menyantap takoyaki dengan damai, ia makan cukup lahap sampai tersedak. Sayangnya Nao tidak membeli minuman, sial.
Sebotol minuman dingin mendarat tepat di pipinya, rasa dingin segera menjalar, Nao tersentak lalu menoleh, ada Noa yang memegang sebotol minuman, dan di tangan kanannya memegang sebungkus sakura mochi.
"Noa-kun!"
Ekspresi ceria Noa seketika berubah saat suara Nao meninggi.
"Maafkan aku."
"Tidak apa-apa. Sini duduk di sampingku." Nao memberi ruang untuk Noa duduk, pemuda itu duduk kemudian membuka botol minumnya, lalu memberikannya kepada Nao.
"Kamu minum dulu."
Nao rasa Noa tadi melihatnya tersedak, dengan senang hati gadis itu meminum minuman Noa.
"Kenapa kamu belum pulang?" tanya Nao, Noa yang masih mengunyah makanannya segera memalingkan wajahnya menghadap Nao.
"Hari ini aku piket di kelas."
Nao mengangguk mengerti. Pemuda bermarga Nakabayashi ini cukup rajin, berbeda dengan dirinya yang senang kabur saat piket. Walau sudah diperingati oleh Naka, Nao tetap kepala batu, sepertinya ia harus dihukum agar jera, seperti Nao ke Mashito-sensei.
"Kamu sendiri, kenapa belum pulang juga?"
Nao tersenyum seraya menunjukkan bungkusan berisi takoyaki. "Aku mampir beli ini. Kamu ingin mencobanya?"
Noa menggeleng, sangat menggemaskan, seperti anak kecil.
Keduanya saling berbagi cerita, mulai dari sekolah sampai figure skating yang sama-sama mereka geluti. Rupanya Noa sudah lebih lama bermain skating ketimbang dirinya, ia sudah mengikuti figure skating saat berumur 8 tahun.
Sedangkan Nao? Ia baru 4 tahun. Dan selama itu Nao menjadi anak yang segalanya diatur oleh Otou-san. Mengikuti kompetisi ini itu, mendapatkan medali sebanyak-banyaknya, menjadi anak kebanggaan Otou-san.
Orang-orang di luaran sana mengira kehidupan Nao itu sempurna. Dikelilingi banyak teman, Otou-san yang mencintainya, bakat, dan juga visual yang cukup mumpuni. Namun, sebenarnya itu salah besar! Kalau Nao bisa meminta kepada Tuhan, Nao tidak ingin dilahirkan sebagai Nao, lebih baik ia menjadi orang lain.
Lebih baik jadi ikan, hanya blubuk blubuk keliling akuarium dan makan, pikir Nao.
Noa sendiri, ia yang berminat ke figure skating. Wajar saja, proporsi tubuhnya memang sempurna untuk seorang atlit figure skating. Dan juga, Noa masuk dunia skating hanya untuk seseorang, seseorang yang bahkan belum ia temui seumur hidup.
"Aku ingin membuat dia bangga, walau sebenarnya aku belum pernah bertemu dengannya."
Nao penasaran, siapa dia yang Noa maksud. Akan tetapi, Nao rasa itu adalah hal pribadi Noa, jadi ia mengurungkan niatnya untuk bertanya.
Makanan mereka sudah habis, tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore, sudah agak terlambat. Noa mengajak pulang bersama, Nao setuju, daripada ia sendirian. Selama di jalan, Nao tidak hentinya berbicara, hampir semua yang mereka temui akan dibahas Nao.
Seperti saat mereka melihat bunga matahari di tepi jalan. "Noa-kun, tahu tidak? Arah bunga matahari itu menunjukkan di mana arah matahari terbit, lho."
Atau saat mereka melewati toko kue. "Noa-kun, lihat toko itu! Aku sering ke sana. Tahu tidak? Donatnya sangat enak! Kamu wajib coba."
Nao sudah cocok jadi tour guide.
Tiba di persimpangan rumah mereka berdua, keduanya saling melambai satu sama lain.
"Bye-bye, Noa-kun!" Nao melambai dengan senyum merekah di bibirnya, sedangkan Noa tersenyum kecil seperti biasa, tangannya membentuk tanda V di depan dada.
"Sampai jumpa."
Baru beberapa langkah Nao berjalan, tiba-tiba dari belakang Noa menghampirinya, napasnya tersengal-sengal akibat berlari.
"Apa aku boleh meminta nomor ponselmu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Koishiteru
Roman pour AdolescentsKetika kata tak bisa diucapkan, hanya isyarat yang ia tunjukkan. ──── Semestanya membisu. Ia kerap dirundung kelabu. Kala satu suara datang menyapa rungu, dan dunianya mulai mendapat warna baru. Akan tetapi ada satu yang ia tidak tahu, bahwa setiap...