Hari selasa, itu berarti jadwal olahraga berada di urutan pertama. Gadis berkuncir yang duduk di pojokan tengah menatap malas ke orang-orang, sebut saja dia Nao. Matanya merotasi mengikuti gerak orang-orang, kadang kala diikuti helaan napas panjang juga sandaran singkat. Ia bosan, benar-benar bosan.
Nao seolah kerasukan Belphegor, iblis kemalasan.
Nao memerhatikan anak perempuan yang keluar masuk silih berganti, ia menipiskan bibirnya lalu memangku kepalanya di atas tangan, masih dengan mata memerhatikan sekitar. Atensinya teralih ke sekumpulan gadis di pojokan kelas, tengah cekikikan sambil diiringi candaan khas anak perempuan. Lalu beralih ke sekumpulan anak laki-laki yang memainkan bola di dalam kelas, padahal ini bukan lapangan.
Jikalau ketahuan sensei, pasti bola itu sudah kempes sedari tadi, atau bisa saja langsung disita.
Bosan sekali, Nao menghela napas pendek lalu mengubah posisinya, menaruh kepala di atas lipatan tangannya. Ia sudah menunggu Naka selama sepuluh menit, tapi gadis itu belum menunjukkan batang hidungnya. Keito, laki-laki itu langsung melarikan diri tatkala Nao minta titip sebotol air di kantin, jahat sekali.
Omong-omong, Nao tidak ikut pelajaran olahraga hari ini. Bukan karena ia sakit atau semacamnya, tapi seperti biasa, ia lupa membawa seragam olahraga. Padahal jika diingat-ingat lagi, gadis itu ingat betul bahwa malam tadi ia sudah memasukkan tas kecil berisi seragam olahraganya ke dalam tas. Namun, entah mengapa, tas kecil itu mendadak lenyap saat ia mencarinya di kelas.
Mendengar cerita Nao yang menurut guru olahraganya--Nagumo-sensei--tidak masuk akal, lantas saja gadis itu dihukum menulis esai sebagai pengganti nilai olahraga hari ini. Akan tetapi coba tebak, apakah Nao melakukan apa yang gurunya katakan? Tentu saja tidak.
Nao justru berkeliling area sekolah, menyusup ke ruang musik dengan peniti seperti di film-film dan memainkan piano tua di sana. Kalau tidak, ia bisa bersantai sendirian di kantin sekolah, tidak masalah, tidak ada yang akan memarahinya. Selain itu, ia juga ke taman belakang sekolah. Di sana banyak tertanam pohon sakura, bisa dipastikan sekarang pohon itu tengah bersemi dan menggugurkan bunga-bunga berwarna merah muda.
Nao jadi teringat, dulu ia pernah iseng mengumpulkan bunga-bunga dan dedaunan yang berguguran, menumpuknya seperti tumpukan jerami kemudian berbaring di sana. Empuk. Seperti ranjang sendiri. Sesampainya di rumah ia dimarahi habis-habisan gara-gara seragamnya kumal juga kotornya minta ampun, Nao merajuk hingga melewatkan makan malam, enggan bertemu tatap dengan Otou-san.
Oke, mari lupakan cerita kecerobohan Nao.
Kini kelas berangsur sepi, yang lain sudah menuju lapangan sekadar berganti tempat bermain, mungkin mereka sudah sadar kalau ini kelas bukan lapangan. Dari pintu kelas menyembul kepala seorang gadis, Naka, gadis itu tergopoh-gopoh masuk kemudian duduk di bangku samping Nao. Terlihat buliran peluh menetes dari dahi juga leher, nampaknya ia habis berlari. Segera gadis itu menyambar botol minum dari saku tas merah maroon milik Nao, menandaskannya sampai tidak bersisa, lalu mengatur napasnya yang naik turun tidak beraturan.
"Naka-chan! Kau menghabiskan air minumku!"
Wajah Naka beralih menatap Nao, kemudian mengabaikan gerundel kesal dari gadis itu, ia tiba-tiba berkata. "Aku habis bertemu dengan anak laki-laki tampan dari kelas sebelah!"
"Lalu?"
"Dia juga menatapku! Ah apa mungkin pemuda itu juga menyukaiku?"
Nao mendorong dahi Naka agar menjauh dari hadapannya. "Jangan mimpi!" sungut Nao seraya terbahak, seketika pulasan senyum manis Naka berubah jadi cebikan. Nao tertawa hingga tanpa sadar tangan Naka bersiap untuk menggelitiki perutnya, suara ketawa cempreng pun keluar dari mulut gadis yang tengah meronta dari gelitikan Naka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Koishiteru
Ficção AdolescenteKetika kata tak bisa diucapkan, hanya isyarat yang ia tunjukkan. ──── Semestanya membisu. Ia kerap dirundung kelabu. Kala satu suara datang menyapa rungu, dan dunianya mulai mendapat warna baru. Akan tetapi ada satu yang ia tidak tahu, bahwa setiap...