"Nao-chan, sudah siap?"
Suara berat Otou-san¹ dari lantai bawah terdengar nyaring hingga ke bergema di dalam sanubari, Nao menghembuskan napas malas sementara mulut berdecak dan membalasnya akan turun lima menit lagi.
Daksa Nao enggan bangkit dari ranjang empuknya. Sepasang netra cokelatnya turut berpaku pada langit-langit kamar yang sengaja dicat warna abu-abu, seakan mencerminkan pribadi sang pemilik kamar yang kerap dirundung kelabu.
Nao benci hidupnya.
Bukan ia tidak bersyukur telah dilahirkan atau apa, namun karena Otou-san.
Bagaimana tidak? Ia harus mengikuti semua perintah Otou-san tanpa boleh menolak. Mulai dari meninggalkan dunia yang satu-satunya terdapat kenangan Okaa-san², musik serta piano. Dipaksa berlatih di atas lapangan es mati-matian dan mengikuti banyak kejuaraan figure skating lalu mendapatkan medali sebanyak-banyaknya, kemudian Otou-san akan dengan bangga memamerkannya.
Entah apa yang ingin Otou-san capai lewat Nao, bisa jadi beliau ingin sebuah validasi yang bahkan pria paruh baya itu tak bisa memperolehnya. Namun di luar itu, Nao seolah berada di jalan buntu, jalan yang tidak ada seorang pun dapat membantu.
Nao terjebak di dalamnya, tanpa tahu bagaimana cara menyudahi semuanya.
Manik matanya mengerling ke arah jendela, pohon sakura sudah bermekaran seiring angin musim semi yang berlalu di antara para ranting. Mereka bergerak leluasa tanpa diatur oleh seseorang, tidak seperti dirinya, begitu pikir Nao.
"Nao-chan cepat! Kita bisa terlambat." Suara Otou-san kembali terdengar, kali ini nadanya naik satu oktaf. Nao tersentak dari atas ranjang, dalam pikiran yang masih mengawang, ia berusaha 'tuk tetap tenang meski diliputi rasa gamang.
Suara sepatu pantofel yang beradu dengan lantai seumpama dentuman tak ada akhir di dalam hati, Nao takut walau hal itu pasti akan terjadi, namun ia lebih takut jika ia menolak menaati lalu diakhiri saling menyendiri tanpa kata damai.
"Gomennasai³, Otou-san." Nao menunduk kala manik cokelatnya menangkap sosok Otou-san berdiri di depan tangga, beliau memijit pangkal hidung sembari menggeleng pelan.
"Kamu tahu 'kan, kalau hari ini hari besar kamu," ujar Otou-san dengan netra yang menghunus kedua bola mata Nao, napas gadis itu tercekat seakan udara di dunia menghilang entah ke mana, perlahan ia menelan saliva diiringi kepala masih mencoba meramu kata.
Percuma, mulutnya enggan menuturkan frasa yang pasti memunculkan perkara lebih lama.
Otou-san keluar terlebih dulu, meninggalkan Nao yang masih terdiam kaku. Ia menghembuskan napas lega, kemudian memegangi dada seraya melihat jam tangan denyut jantungnya, normal.
Dalam hati ia memanjatkan harap pada Tuhan, semoga hari ini tidak mengecewakan Otou-san.
──
Ingar-bingar di sini tak lantas membuat Nao turut merasakan ramai, dawai-dawai sanubarinya justru mengutarakan sunyi. Selepas dinyatakan gagal di kejuaraan figure skating tadi, ia benar-benar merasa menjadi manusia paling tak berguna di Bumi.
Otou-san sudah berlalu sesaat setelah memberi ujaran serta serapah untuknya, tanpa mengindahkan jika putri semata wayangnya ini menanggung malu yang tak terkira.
Jujur saja, Nao merasa ingin pergi dari dunia. Dunia terlalu jahat baginya.
Bagaimana tidak? Diperhatikan banyak pasang mata saat dimarahi habis-habisan, bukankah itu cukup memalukan?
Nao duduk di lantai seraya menyandarkan punggung ke dinding berbahan pualam, membiarkan diri bersemayam sejenak dengan mulut yang tetap bungkam. Untungnya di sini sepi, tidak ada orang lain atau orang yang ia kenali.
Belum lima menit menikmati kesendirian, seorang pemuda datang lengkap dengan permen di tangan. Ia mengulur seolah menawarkan, Nao pun mau tak mau menerima lantaran permen itu terlihat menggiurkan.
Pemuda tak dikenal itu duduk beberapa jengkal dari tempat Nao, selama tiga menit mereka dirundung diam tanpa satu pun kata terucap. Nao sedikit kikuk, bingung membangun obrolan seperti apa, namun seketika kepalanya merangkai satu kalimat tanya.
"Hai, namamu siapa?" tanya Nao sambil menoel bahu pemuda itu, ia sedikit terkejut kemudian menoleh dengan senyum yang perlahan merekah.
Tak berselang lama, tangan kanan pemuda itu melambai pelan beberapa kali, seperti gerakan mengatakan 'hai'?
"Hai ...,"
Kemudian dua jari—jempol dan telunjuk—menguncup kemudian membuat pola garis di telapak tangan kiri, seperti gerakan menulis, lalu menunjuk dirinya.
"Namaku ...,"
Dan jemarinya membentuk huruf demi huruf yang untungnya pernah Nao pelajari saat menjadi volunter bagi mereka yang spesial.
"Nakabayashi Noa."
Pemuda itu—Noa—berhenti sebentar, mengatur napas, telunjuk kanannya kembali menunjuk dirinya dan diakhiri mengarahkan telunjuk ke telinga kanan.
"Aku Tuli."
Setelah itu ia tersenyum, senyum yang sangat manis.
──
Otou-san: Ayah
Okaa-san: Ibu
Gomennasai: aku minta maaf
(n) di work ini aku bakal gunain JSL (Japanese Sign Language) sama Bisindo (Bahasa Isyarat Indonesia) atau SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia).
Dari beberapa sumber yang aku baca komunitas Tuli lebih nyaman disebut Tuli atau Teman Tuli karena kata “Tuli” (dengan kapital T) menunjukkan identitas dan lebih sopan. Sementara, tunarungu dianggap sebagai sebuah keharusan untuk mengoptimalkan kemampuan pendengarannya dengan berbagai cara, agar menyerupai orang-orang yang dapat mendengar.
Istilah “tunarungu” lebih dianggap sebagai keterbatasan fisik dalam mendengar dan berbicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Koishiteru
Fiksi RemajaKetika kata tak bisa diucapkan, hanya isyarat yang ia tunjukkan. ──── Semestanya membisu. Ia kerap dirundung kelabu. Kala satu suara datang menyapa rungu, dan dunianya mulai mendapat warna baru. Akan tetapi ada satu yang ia tidak tahu, bahwa setiap...