''Kau baik - baik saja?''
Ha? Halilintar?? Menanyai kabarku?? Yang benar saja!. Dia saja jarang speak up di khalayak ramai! Bahkan dulu aku hampir menganggapnya bisu karena jarang berbicara. Yah ... walau sekarang aku menganggapnya punya lidah yang tajam dalam sekali menegur.
''Chiara?''- Halilintar.
''A-Ah ... tidak apa - apa. Aku akan berobat mandiri. Ini tinggal disemprot air infus sudah sembuh sendiri,'' ucapku sambil mencoba menarik tanganku darinya. Namun Halilintar tidak melepaskanku. Dia masih menggenggam tanganku.
''Tidak. Ayo ke UKS. Takut kena rabies''. Tanpa persetujuan dariku, tanganku ditarik olehnya. Aku kelabakan mengikuti langkah lebarnya. Ditambah aku malu sekali dilihat orang - orang yang berlalu - lalang melewati kami. Argh!!! Bisa - bisa aku mati karena 2 kemungkinan. Satu, mati karena malu. Dua, mati karena dibully oleh fans fanatik Halilintar.
Kami sampai di UKS. Dia tanpa permisi membuka pintu ruang medis itu. Tidak ada penjaga UKS disana. Halilintar mendudukanku di bangku kecil, dia beralih menggeledah lemari obat dan mengambil kotak P3K. Setelah itu dia meletakkan kotak itu di meja sebelahku dan menggeledah isinya. Dia mengambil kapas dan obat merah.
''Halilintar. Biar aku sendiri--''
''Diam dan menurutlah. Aku tahu jika diserahkan hal ini padamu, kau pasti tidak akan mengobati lenganmu,'' ucapnya membantahku. Aku hanya bisa diam dan melihatnya menitikkan kapas yang diberi obat merah di lenganku yang berdarah.
''Aku mendengar dari Om Pian. Dulu, kau sering self harm saat jiwamu tergoncang. Kepribadian masokis dan sadismu muncul setelah mamamu wafat. Apa kau gila?'' Ucap Halilintar menanyaiku. Geh?! Kenapa Papa menceritakan hal itu pada Halilintar?!.
''Ya. Aku gila. Terus terang, aku tak pernah mengharapkan apapun. Kehidupanku membosankan. Pada akhirnya, kita semua akan mati, kembali menjadi ruh. Apa gunanya mengejar dunia yang sementara?'' Ucapku mengutarakan pendapat.
''Pantas saja. Mindsetmu tentang kehidupan sependek itu. Terlihat tenang, tapi menghanyutkan. Kau bisa mati karena pola pikirmu sendiri,'' timpalnya seraya membungkus tanganku dengan kain kasa. Aku menaikkan sebelah alisku keheranan.
''Mengapa kau peduli padaku?'' Tanyaku. Dia berhenti membalutkan kain kasa di tanganku, beralih menatapku. Aku tentu membalasnya dengan tatapan heran. Sedetik kemudian, dia mengalihkan wajahnya dariku.
''A-Aku tidak melakukan hal ini karena aku dijodohkan denganmu oleh ayah kita. Aku hanya tahu rasanya menjadi piatu,'' jawabnya. Aku terbelalak, jadi selama ini Pangeran Elemen ini piatu?. Aku membungkam bibirku untuk diam, merasa bersalah. Jadi duo bapak - bapak itu sama - sama duda?!!.
''Tunggu. Apa maksudmu dijodohkan? Bukankah aku sudah menolak tawaran Paman Amato?'' Ucapku. Halilintar mengangguk sebagai jawaban. ''Ya. Akupun demikian. Tapi perjodohan tetap berjalan. Ayah kita berdua melakukan perjodohan ini hanya karena wasiat ibu kita. Mereka ingin menjodohkan anaknya dan menjadi besan,'' jelas Halilintar lalu mengikat kain kasa itu di pergelangan tanganku.
Mama! Kenapa aku dijodohkan?!. Aku mau sukses dulu, kuliah dulu, kerja dulu, aku nggak mau kawin dulu!!!. Argh!! Rasanya aku frustasi lagi. Aku hanya bisa menatap Halilintar yang selesai mengobatiku dan membereskan kotak P3K yang ia ambil tadi.
''Aku tidak peduli dengan perjodohan ini, karena aku juga menolak. Tapi kuharap kita menjadi teman. Chiara''. Ha? Dia ingin berteman? Denganku? Wanita membosankan sepertiku??.
''Aku tidak punya teman, dan tidak ingin punya teman,'' jawabku terus terang. Terkadang teman bisa menjadi musuh dalam selimut, lalu menikammu dari belakang. Dan teman itu kadang - kadang bisa meninggalkanku secara tiba - tiba. Seperti dia.
![](https://img.wattpad.com/cover/363367684-288-k200398.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Home For Me (Boboiboy Fanfiction)
FanfictionRumah. Sesuatu yang nyaman untuk tinggal. Bukan berupa benda dan tempat, melainkan seseorang yang membuatku nyaman. Inilah kisahku yang merindukan rumah, melakukan apapun untuk rumah. • Karya asli milik Monsta dan Nizam Abd Razak • Tidak ada alur as...