17.

28 4 2
                                    

Plak!!

''Dasar tidak berguna!! Sepeser uangpun kau tidak bisa mendapatkannya!!''.

Aku menyentuh pipiku yang panas sungguhan sambil menunduk menahan emosi. Bajingan, klenjingan, akan kubalas setelah drama ini selesai, Papileon!!!.

''Nyonya. Apakah kau sudah selesai?''. Tiga teman laki - lakiku datang berpakaian tentara eropa, membawa senjata kaliber mainan yang terbuat dari plastik. Aku menahan emosiku dan melanjutkan aktingku. Aku mundur dengan wajah ketakutan.

''Sudah. Cepat bawa anak ini sebagai ganti upeti yang akan kubayarkan,'' ucap Papileon menunjukku. Aku langsung bersimpuh memohon lagi sambil memegang wajahnya.

''Mak ... jangan jual Wulan .... hiks ... Wulan tidak mau dijual .... ''. Suaraku yang merengek sangat menjijikkan di telingaku, disinilah aku membuang harga diriku, berakting menangis palsu sambil bersimpuh. Papileon menghempaskan tangannya yang kugenggam dengan tak berperikemanusiaan.

''Tuan. Bawa dia pergi!''.

Melody orkestra Tchaikovsky, Swan Lake menggelegar di pengeras suara panggung. Konfik mulai terjadi. Kedua lenganku ditahan oleh dua temanku yang menjadi tentara Belanda. Aku mencak - mencak, berteriak dan memberontak tak mau ditahan.

''Lepaskan aku!! Aku tak mau ikut kalian!!'' Teriakku kesekian kalinya. Dengan kejamnya dua temanku yang tengah menahanku langsung menundukkan paksa diriku sampai bersimpuh. Kejadian dramatis yang diiringi melody Swan Lake membuat penonton mengeluarkan ekspresi menegang, aku melirik sekilas mereka dari ekor mataku.

''Hahaha! Mulai sekarang, kau akan menjadi budak kami. Jadi jangan memberontak!''. Temanku yang satunya yang namanya Ilham berperan menjadi Kapten Heitor, pemimpin pasukan serdadu Belanda. Dia dengan ekspresi yang keji menjalankan aktingnya, yaitu menghatamkan pangkal senjata kaliber mainan di tengkukku.

Dak!

Ini masih mending, dia bisa melayangkan pangkal senjata yang menghantam tengkukku dengan lembut, aku langsung pura - pura pingsan dan diseret di tengah panggung sambil dipasang rantai pada kakiku dan pasung mainan pada tanganku.

Tubuhku disandarkan pada kotak kayu yang menjadi peti untuk pembayaran upeti serta beberapa hasil panen di sampingku. Latar cerita berganti di gudang, aku yakin jika teman - temanku yang lain bekerja sama mengganti papan background menjadi gudang.

Aku mendengar melody Swan Lake mulai meredup dan dilanjut scene awal dari resolusi. Scene inilah yang mempertemukan Wulan dan Thomas saat pemuda itu mengecek upeti yang diberikan rakyat pribumi. Yuki mulai membacakan narasinya.

''Tidak manusiawi. Ibu tiri Wulan dengan tega menjual putrinya pada Belanda. Pemimpin serdadu, Kapten Heitor membawa Wulan dengan cara kasar. Kini, Wulan tertahan dalam gudang penampungan pajak rakyat pribumi dalam keadaan pingsan''.

''Apa ini? Kenapa kalian membawa seorang wanita? Bukannya uang?'' Tanya Sai memprotes saat mengecek gudang. ''Maafkan saya, Tuan Thomas. Disebabkan salah satu warga tidak mampu membayar pajak, mereka menjual putrinya.'' Jawab Ilham dengan lugas.

Suara Sai terdengar mendesah panjang. Kecewa berat. ''Haah .... lepaskan gadis ini, lalu eksekusi warga itu. Berikan dia hukuman gantung!'' Tegas Sai membuat penonton berseru puas. ''Tapi ...''. Suara Ilham terdengar ragu, Sai langsung menyelanya.

''Tidak ada tapi - tapian. Walau kita tujuan awal memonopoli tanah ini, menarik pajak pada rakyat disini, tapi ada norma sosial. Dilarang memperdagangkan manusia.'' Ucap Sai. ''Baik, Tuan.'' Ilham langsung pergi setelah menyerahkan kunci, aku mendengar suara gemerincing logam dan langkah kakinya menjauh dan menuruni panggung.

Home For Me (Boboiboy Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang