Xtra Chapter

49 7 1
                                    

Yogyakarta. 1 Juli 2004.
.
.
.
Takdir itu telah ditentukan, tapi jika dengan ikhtiar, takdir bisa diubah. Walau kenyataannya kita sudah berusaha keras, kegagalan pasti terus menghampiri. Namun Tuhan tahu apa yang hambanya pinta.

Namaku Chiara Askandar. Walau aku anak orang kaya se-Asia, IQ-ku seperti anak SMA. Di usiaku yang baru menginjak 7 tahun ini, aku sudah pintar berlogika dan dituntut mandiri.

Ini kemauan Mama.

Dikarenakan karir, Papa dan Mamaku menitipkan diriku di rumah Mbah Sah, ayah dari Mamaku. Papa sangat sibuk dengan perusahaannya, Mama terus pergi ke Eropa untuk bekerja sebagai agen jejaring antar-negara.

Dan disinilah kehidupan keras menghampiriku.

''Ngarit o seng bener to nduk!!''.

Ugh ... apa - apaan ini? Aku diseret dan disuruh ke pinggir jalan dengan Mbah Sah untuk menerabasi rumput untuk pakan kambingnya? Yang benar saja!!. Hey. Aku ini anak kota yang baru datang kemarin malam, mana tahu - menahu tata cara menggunakan celurit untuk menerabasi rumput!. Setidaknya diajari kek, apa kek, malah dimarahin.

Mana pulangnya aku duduk di atas tumpukan rumput yang di panggul pada motor etekewernya lagi. Sumpah. Orang desa itu udik banget, plus nekat. Padahal ini wilayah pegunungan, bisa - bisanya motor tua koplingan milik Mbah Sah ini mampu menanjak dan menuruni jalanan perbukitan sambil membawa benda berbobot berat.

Ditambah pajak motornya sudah mati lagi. Hadeh ...

Kami sampai dirumahnya. Rumahnya kayu, tapi berkeramik. Atap plafonnya gedek, atau anyaman bambu. Ruang tamunya selalu bau kemenyan, aku sampai heran. Selain aneh, orang desa terkadang menormalisasikan kegiatan musyrik dengan dalih menghormati budaya leluhur.

Okay. It's fine. Boleh - boleh saja menghormati, tapi ya jangan terlalu percaya amat dengan takhayul atau mitos peninggalan nenek moyang yang menganut Animisme dan Dinamisme. Musyrik itu ujung - ujungnya.

''Chiara. Mbah mau ke belakang. Ngasih pakan kambing. Main o ke sawah sana''. Orang tua itu menyuruhku main usai aku sholat Ashar. Oke. Kebetulan baterai ponselku habis. Aku mau jalan - jalan sebentar di sawah.

Kakiku melangkah keluar dari rumah. Menikmati pemandangan asri disini. Sawah - sawah padi terhampar sejauh mata memandang, berlatar gunung dan perbukitannya menambah keelokan desa ini. Disini dingin, walaupun begitu, aku bisa gosong karena lokasi desanya di wilayah dataran tinggi.

Nama wilayah disini yaitu Gunung Kidul, tapi aku tak terlalu tahu dengan lokasi ini. Aku mengeksplorasi sawah di jalan sebidang tanah. Jika aku salah langkah atau kepleset, kupastikan bajuku akan penuh lumpur sawah saat pulang.

Hingga aku menemukan lahan berumput di tengah sawah, mirip seperti lapangan. Mataku teratensi pada anak laki - laki yang duduk di atas pohon, disana ada rumah pohon! Keren! Aku mau naik kesana ah!.

Kakiku melangkah menaiki tangga tali. Akhirnya kakimu menapak di lantai rumah pohon itu. Aku menatap pemandangan dari atas sini. Wah ... indah sekali. Aku sampai takjub.

''Haa!''

Aku sendiri kaget saat anak laki - laki itu menjerit singkat. Namun aku segera tersadar. Anak tersebut tunarungu, dia mengenakan earpiece di kedua telinganya. Duh ... gimana ini? Aku nggak bisa bahasa isyarat.

Home For Me (Boboiboy Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang