LUCKY LUCKY 1.

10 1 0
                                    

Number 1. BERUNTUNGNYA PUNYA OKTA.

***

Jika ada sebuah biografi yang ditulis dengan sosok Okta sebagai subjek penelitiannya mungkin hanya akan beberapa baris kalimat saja yang tercetak. Mungkin seperti ini ...

Lumaki Okta, Pemuda berusia dua puluh empat tahun, Lulus sebagai sarjana sastra bahasa asing yang bekerja di sebuah perusahaan cetak sebagai editor. Dia pemuda yang Ramah, baik hati, dan rajin menabung. Tingginya normal, seperti pria pada umumnya. Okta juga orang yang tepat waktu.

Tapi sebenarnya Okta itu pemalas.

"Kak, kamu gak nginep kan?" Tanya ibu Okta begitu ia keluar dari kamar hendak ke dapur.

"Enggak, Bu. Khawatir banget aku di rumah lama-lama," gerutu Okta.

"Ya bagus deh. Ngapain juga bujang lama di rumah," timpal ibu.

Okta hanya mendengus tidak menanggapi lagi ucapan ibu tirinya itu. Padahal ini rumah ayahnya, ayah kandung Okta. Tapi kenapa ibu tirinya yang risih atas kehadiran Okta?

Tanpa peduli lagi, Okta melanjutkan acara nonton televisinya sambil menghabiskan camilan yang sengaja ia bawa kemarin sore sebagai oleh-oleh. Eh tapi malah dia yang habiskan juga.

"Kak, mama mana?" Tanya seorang gadis remaja yang baru kembali ke rumah setelah izin main tadi pagi.

"Dapur," jawab Okta singkat kepada Sasil--adik seayahnya.

"Kenapa kakak yang habisin sih? Inikan camilan buat Sasil." Toples itu di rebut.

"Dihh nanti kakak kasih jajan ke alpamart," ujar Okta merebut lagi toples itu.

"Janji ya?"

"Iyaaa, udah sana. Tadi nyari ibu," usirnya.

Sasil menaruh tas selempangnya di sofa lalu pergi ke dapur. Jika Okta memanggilnya Ibu, maka Sasil memanggilnya Mama. Kalo untuk ayah mereka kompak memanggil Ayah.

Ah, soal ibu Okta, beliau masih hidup namun tinggal di luar negeri dengan suami barunya. Beliau tidak susah-susah memikirkan hak asuhnya atas Okta saat mereka bercerai, begitu juga ayah Okta. Namun karena Ayah Okta memiliki sedikit hati nurani, ia pun merawat Okta sebisanya. Hingga saat Okta memutuskan hidup sendiri di sebuah kontrakan, ayah Okta tidak melarang atau menahannya. Justru memberikan sedikit uang untuk membantunya.

Tak apa, itu lebih baik dari pada ibu kandungnya yang mungkin sudah melupakan putranya sendiri.

Itulah kenapa Okta masih mau datang ke rumah ayahnya ketika libur bekerja tiba.

Tapi istri baru ayahnya sedikit risih padanya. Mungkin karena dia tahu jika Okta memiliki penyimpanan seksual. Hanya saja, ibu tirinya ini tidak berani berkomentar banyak. Seperti tadi saja, cara dia menunjukkan ketidak sukanya.

Tapi Okta tidak ambil pusing, toh dia tidak hidup bergantung pada wanita itu.

"Kak, Sasil mau ke toko sembako beli gula buat mama bikin kue. Minta uang jajan sesuai janji kakak tadi," kata Sasil sambil menyodorkan telapak tangannya.

"Berapa?"

"Yang banyak. Sasil mau ngeborong."

Okta memberikan selembar uang biru pada Sasil.

"Sekalian sama bayar gulanya. Sisanya buat adek."

"Yess!!"

Sasil menyambar lagi tas selempangnya dan pergi ke luar. Usianya dengan Okta itu berbeda sekitar 10 tahun dan Okta menyayanginya tanpa memandang siapa ibunya. Toh dia tetap adik Okta yang memiliki darah dari ayah yang sama.

LUCKY NUMBER ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang