LUCKY LUCKY 7.

5 0 0
                                    

NUMBER 7.

***

Mulut max terbuka lebar, sambil menggaruk kepalanya Max menguap karena ia baru bangun tidur. Semalam ia pulang hampir menyentuh jam tengah malam karena lembur. Hari ini max mengambil cutinya. Ia kira di dapur tidak ada orang tapi Okta ternyata sudah bangun, sedang membuat sesuatu.

"Jam berapa kamu bangun?" Tanya Max disusul dengan menguap.

"Jam dua."

"Uss ... Itu masih sangat pagi. Dini hari malah," ujar max terkejut. Matanya mengamati beberapa kotak diatas meja. Warna warni.

"Apa ini? Kamu membuatnya sendiri?"

Okta sedikit memutar badan demi menatap lawan bicaranya.

"Itu tiramisu. Sebenarnya aku itu suka terima pesanan anak kantor. Apa yang mau aku buat besok bakal aku tawarin sama anak-anak. Waktu acara HUT ibu kota juga mereka membawa bento buatanku. Lumayan buat tambah uang saku," jelas Okta.

"Bukannya bekerja sebagai Editor itu sudah sangat memakan waktu. Tapi kamu masih bisa menjalankan bisnis seperti ini? Apa kamu tidak lelah?"

Okta mematung di tempatnya. Menatap mata khawatir Max dan gerak gerik pria itu dalam mengamati maha karya ya. Okta tidak menyangka jika orang asing seperti max akan khawatir padanya. Padahal mereka baru beberapa  hari tinggal bersama. Orang tuanya saja tidak pernah menanyakan kabar dirinya karena sudah sibuk dengan keluarga masing-masing..

"Kamu membuat semua ini dari jam dua? Kapan kamu tidur?" Tanya Max kini berdiri di samping Okta dan melihat beberapa coklat dan buah yang sudah Okta potong.

"Enggak semua. Sebagian aku kerjain sebuah pulang kerja."

"Astaga, Okta. Kamu kapan istirahatnya. Kamu kan pulang sore!"

"Aku pulang jam tiga kok. Itu masih siang."

"Tapi kamu sampai rumah jam empat. Harusnya kamu istirahat begitu kamu tiba. Jangan memaksakan dirimu, Okta. Kamu kan sudah punya saya. Kalo kamu ingin sesuatu, butuh sesuatu, uang, jajan, baju atau apapun  bilang sama saya. Saya suami kamu, saya disini untuk membahagiakan kamu, menuruti keinginan kamu," ujar Max berusaha menyampaikan penjelasan dengan baik walau sedikit jengkel.

Tangannya sudah mencengkram kedua lengannya Okta dan menariknya berdekatan.

"... Kamu jangan sungkan sama saya, Okta."

Bola mata Okta sukses melebar. Bagaimana bisa, Max menebak apa yang ia rasakan selama ini?

Okta memang merasa sungkan. Pasalnya, mereka dipertemukan tiba-tiba karena sebuah undian dalam acara perayaan. Itu pun ulah dari kakek yang merupakan ayah Max. Tiba-tiba mereka hidup satu atap dan mereka akan menikah. Secara logika, Max masih calon suami Okta. Namun pria itu tidak segan mengeluarkan banyak hal. Walau secara tidak langsung.

Max juga memperlakukannya dengan sangat baik. Mengakuinya sebagai istri begitupun dirinya sendiri sebagai suami Okta. Dia sudah menafkahi Okta. Dia seperti mencintai Okta.

Namun, pertemuan dan kebersamaan mereka hanya karena sebuah lelucon. Bagaimana jika max tidak sebaik ini?

Orang kadang ada yang baik namun mengharapkan imbalan. Memangnya apa yang Okta punya?

Uang? Max lebih banyak.

Harta benda? Max mungkin sudah punya sebuah pulau pribadi penuh emas berlian

Popularitas? Okta hanya seorang editor kecil. Dia terkenal di kalangan rekan kerjanya saja.

Apa mungkin tubuh Okta?

Atau mungkin kebaikan ini hanya bentuk belas kasihan karena Okta menjadi korban lelucon ayahnya. Kondisi terparahnya, ini hanya kepura-puraan demi mencapai sesuatu. Bisa saja Max hanya melakukan ini agar kakeknya puas. Lalu suatu hari saat keadaan sudah mendingin, dia akan meninggalkan Okta secara perlahan.

Tidak. Okta tidak mau seperti itu. Dia takut luluh. Dia tidak ingin ditinggalkan. Dia ... Okta ... Lebih memilih terbiasa sendiri.

Kenapa Max harus hidup di sekitarnya sih????!!!

***

Libur ... Artinya berkerja dari rumah. Itulah yang selama ini Max maksud soal libur atau cuti.

"Aku pulang."

Okta memasuki rumah dengan perlahan dan santai. Energinya sudah sangat terkuras. Novel yang sedang ia kerjakan sekarang cukup parah. Banyak hal yang harus di revisi.

"Kamu udah makan?" Tanya Okta. "Aku akan masak nasi goreng kalo kamu lapar. Nasinya masih ada kan?"

"Okta," tahan mAx sambil menarik tangan Okta. "Sini, kamu duduk dulu. Kamu baru pulang kerja masa udah mau masak lagi. Duduk dulu."

Okta dengan mudah di dudukan di samping Max. Okta tidak bisa menyangkal dia juga lelah hari ini.

"Apa ini? Bukannya kamu lagi cuti?" Tanya Okta.

"Ini cuma kerjaan sedikit. Agar besok saya bisa mengerjakan yang lain yang menunggu," ujar Max.

"Kamu gak jalan-jalan gitu. Jarang banget loh kamu cuti begini."

"Dari mana kamu tahu? Stalker." Max mencolek hidung Okta menggoda yang bercanda.

"Dihh... Jangan asal nuduh ya. Itu tuh keliatan noh noh ..." Okta menusuk-nusuk kening Max yang mengerut karena merasa terganggu tapi dia tidak marah.

Hanya konsentrasinya pecah karena ada Okta disampingnya  bersandar padanya.

"Makin tua loh kalo kebanyakan kerja."

Perempatan imajiner muncul di kening Max. Dengan secepat kilat, Max mendorong Okta hingga terlentang di sofa.

"Oho ... Berani kamu sama saya."

"Lepasin tangan ku!! Kan kamu emang lebih tua dari aku. Harusnya aku itu manggil kamu Om. Om Maximilian."

"Jangan panggil saya Om. Saya masih muda. Bujang pula. Panggil aku mas."

"EH!! GAK MAU. KITA BELUM NIKAH!"

"kan membiasakan diri ..." Max merendahkan tubuhnya hingga bagian bawahnya bergesekan dengan milik Okta.

"HUWAAAAA! JANGAN MACAM MACAM YA MAXIMILIAN! CABUL!"

prrfftt- max tak kuasa menahan tawanya hingga akhirnya pecah juga sangat lepas dan sangat tampan.

"Aduh aduduh ... Kamu ini ada ada aja."

Max turun dari atas tubuh Okta dan duduk di karpet sambil memangku laptopnya lagi.

"Oh iya ... Ta, ibu dan ayah saya ingin bertemu dengan kamu."

"Ha?!" Okta membeku dan tubuhnya mulai gemetar.

"Saya sudah coba telpon kamu tapi tidak ada jawaban. Saya sudah memesan tempat di salah satu restoran besok malam. Kamu bisa kan pulang awal?"

"Eh?! Aku ..."

"Kita dinner bareng sama ibu dan ayah saya."

"Eh?"

"Sekaligus kita bicarakan soal tanggal pernikahan kita."

"HAAAAAA?!"

Please, bisa gak sih ngasih kejutannya tuh jangan bertubi-tubi begini. Okta kan jadi susah mikir.

***

Maximilian bukan om om chabul.

LUCKY NUMBER ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang