LUCKY LUCKY 15.

5 0 0
                                    

Number 15. LAST

***

Okta duduk berhadapan dengan Morgan. Sekertaris calon suaminya ini tengah menginap di rumahnya untuk perjalanan bisnis esok di kota sebelah. Karena penerbangannya sangat pagi, atas izin Okta, Morgan bisa menginap di rumah ini.

Setelah makan malam, Max ada pertemuan singkat dengan anggota keluarganya melalui panggilan video. Jadi Okta dan Morgan sedang menikmati susu hangat bersama.

"Apa anda akan tetap bekerja setelah menikah, pak?"

Pak? Okta meringis.

"Panggil Okta aja, Mas Morgan. Aku juga belum tahu. Menurut mas Morgan, Max ingin aku bekerja apa tetap di rumah?"

Morgan mengetuk meja sambil berpikir. Menimang pendapatnya dengan jujur.

"Menurut pengamatan saya melalui kepribadian pak max. Kemungkinan besar Bapak akan mengikuti keputusan, kamu Okta. Bapak tidak akan melarang kamu untuk bekerja atau resign. Menurut pendapat saya lebih baik kamu melakukan apapun yang membuat kamu nyaman. Karena kenyamanan pasangan adalah semangat bagi pak Max."

Nyaman, ya.

"Tapi, bapak juga akan senang jika Okta tetap di rumah. Coba bayangkan, ketika bapak pulang bekerja, apalagi sehabis perjalan bisnis dan setibanya di rumah ada kehadiran istri yang merentangkan tangan menyambut kepulangannya. Bukankah itu juga akan membahagiakan bapak?"

Benar, itu memang khayalan kecil setiap laki-laki. Bahkan Okta.

"Mengingat kalian Berdua adalah laki-laki. Saya yakin Bapak tidak akan terlalu mempermasalahkan hal itu. Okta adalah laki-laki, pada dasarnya laki-laki memang ingin bekerja dan diharuskan bekerja. Okta juga pasti punya harga diri mengenai hal itu. Tapi daripada tersakiti karena keputusan yang salah, sedikit egois tidak masalah. Asal membicarakannya secara perlahan dan jelas, saya yakin pasti ada jalan yang menguntungkan untuk kedua belah pihak," kata Morgan melontarkan semua pemikirannya dengan jujur dan lugas.

Membuat Okta paham mengenai pembicaraan itu.

Dann Hingga saat ini, ketika Okta di tinggal sendiri karena dinas Max dan Morgan sampai satu Minggu di kota sebelah.

Pernikahan mereka tinggal menghitung Minggu. Ini akan terasa cepat mengingat kesibukan keduanya juga.

"Ahhh sudahlah. Aku akan pikirkan nanti. Sekarang aku harus mencari tahu keperluan apa saja untuk pernikahan kami. Oh, ya benar ... Aku ingat kalo aku harus membicarakan lokasi resepsinya. Duhh, max sudah ada tempat belum ya," gumam Okta.

Dia harusnya bekerja, tapi Okta malah asik di depan layar komputer tapi fokus pada catatan di atas mejanya.

Dia menatap jemarinya yang mana di si manis aja sebuah cincin perak mengkilau sebagai tanda keseriusan Max setelah mereka berdamai di malam Okta berdiskusi dengan Morgan.

"Will you marry me, Okta? Walau saya tau kamu tidak bisa berkata tidak. Tapi saya tetap ingin melamar kamu. Maaf jika ini tidak romantis saya takut tidak ada waktu-"

"Aku mau."

Okta mengerang tanpa suara dan bergerak seperti cacing kepanasan di kursinya saat mengingat malam itu. Dengan impulsif dirinya langsung berkata mau dan mencium bibir Max. Harusnya dia sedikit menguji Max malam itu.

Tapi karena itu, keduanya menghabiskan waktu berpelukan dan memandangi cincin mereka sambil mengecupnya beberapa kali. Okta juga berhasil mengutarakan keraguan dan jawaban Max sama seperti yang Morgan jelaskan. Hampir sama. Kebanyakan sama. Intinya Max tidak akan mempermasalahkan jika Okta akan terus bekerja.

LUCKY NUMBER ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang