Sepasang pria dan wanita tengah asik berpangutan, saling mencumbu dan membelitkan lidah satu sama lain. Tanpa melepas pangutan bibir, sang pria membuka kenop pintu kamar hotel lalu mengunci dengan tergesa-gesa. Permainan bibir yang semakin menggairahkan membuat keduanya merasa meledak dan meleleh diwaktu yang bersamaan.
Sang pelaku, Justin terus melesakan lidahnya kedalam bibir Alona, mengabsen setiap gigi dan saling bertukar saliva. Alona yang terus mendesah semakin membuka bibirnya saat Justin meremasi payudaranya. Justin mengangkat tubuh Alona dalam gendongannya lalu melemparkannya ke ranjang.
Dalam pengaruh alkohol, Justin menindih Alona dan mulai melakukan serangan kedaerah leher, menghisap dengan kuat membuat banyak jejak disana. Dan tanpa aba-aba Justin merobek kemeja Alona lalu membuangnya asal, matanya semakin menggelap saat melihat dua bongkahan payudara padat yang hanya dilapisi bra hitam berenda.
Alona pun tak tinggal diam, ia turut membantu menanggalkan seluruh pakaian Justin hingga pria itu bertelanjang dihadapannya. Alona tak harus berbuat apa sekarang. Dia tak bisa berhenti, namun lebih tepatnya tak tahu cara untuk berhenti. Alona merasakan sensasi baru yang tak pernah dia rasakan sebelumnya.
"Ahhh..." Desah Alona saat Justin menciumnya disekitar payudara yang masih terbungkus bra.
Dengan cepat Justin membuka kaitan bra Alona kemudian membuangnya asal. Justin membenamkan wajahnya disana, memilin puting dan mengulum payudara Alona bergantian dengan rakus. Justin semakin turun kebawah mencium dengan lembut sekitaran perut dan melewatinya hingga berhenti dipangkal paha Alona.
Justin menghirup aroma yang khas dari bunga mawar yang masih terbungkus celana dalam, diturunkannya dalam sekali tarik dan dibuang sembarang. Justin mengulum biji kacang Alona dan membuat gerakan memutar disana. Alona menggelinjang dan semakin bergerak gelisah akibat permainan lidah Justin dibawah sana.
"Ughh, lebih dalam." Alona mendesah sambil menjabak rambut Justin, mengisyaratkan agar memperdalam hisapan.
Justin terus bermain disana, sesekali memasukan jarinya kemudian menghisapnya dengan kencang. Sepuasnya bermain dengan lidah, Justin mulai berlutut dan mengocok senjatanya yang semakin mengeras, dia buka kaki Alona lebar kemudian mengarahkannya ke liang senggama itu.
"Ahhh." Desah Alona disertai air yang mengalir dari sudut matanya yang sayu.
Selama permainan berlangsung, Alona hanya terus berada dibawah Justin. Keduanya begitu amatiran dan tak mengerti banyak posisi. Mungkin bagi seseorang yang sudah khatam permainan ini sangat membosankan.
Justin terus menghujam Alona dengan senjatanya, selama permainan panas itu berlangsung hanya desahan yang terus terdengar dari bibir keduanya. Permainan pun berlangsung hingga keduanya terkulai lemas di ranjang.
Disisa kesadarannya, Justin menembakan seluruh benihnya kedalam Alona hingga tumpah ruah dan bersatu dengan darah segar milik Alona. Ia bergetar hebat kemudian terkulai lemas di ceruk leher Alona. Keduanya terengah, namun tak berselang lama mereka tenggelam dalam alam mimpi.
~○°🦋🦋🦋°○~
Dilain tempat, Fabio terus menghubungi ponsel Justin namun tetap tak ada jawaban. Ia mencengkram ponselnya kuat setelah nada sambung operator yang terus terdengar dalam panggilan. Fabio memutuskan kembali kedalam, setelah hampir empat puluh menit berkelintaran diluar club.
"Kemana dia pergi." Geram Fabio sambil mengusap bibirnya. "Sialan, menyusahkan saja kerjanya."
Fabio menghampiri bartender. "Kau lihat pria yang bersamaku tadi?"
"Tuan yang duduk sendiri disini tadi, tuan?"
"Ya." Jawabnya singkat.
"Dia pergi bersama seorang wanita, tuan."
"Wanita? Jangan bergurau, tak mungkin dengan wanita."
"Saya bersumpah, tadi tuan itu memang duduk sendiri disini, namun dia kehilangan kesadarannya lalu ada seorang wanita membantunya."
Fabio tak percaya. Justin tak mengenal siapapun disini, apalagi seorang wanita? Come on! Justin saja takut, mana mungkin jika sekarang dia pergi bersama wanita. Namun, jika benar, Fabio benar-benar tak memiliki bayangan siapa wanita yang membawa Justin.
"Kau yakin?" Tanya Fabio memastikan.
"Sangat yakin, tuan."
"Kau tau nama wanita itu?"
"Maaf tuan, tapi saya tak tau."
Sial Fabio tidak akan secemas ini jika Justin dalam keadaan sadar dan tidak dalam pengaruh alkohol. Justin tak membawa kartu identitas apapun, bahkan dia juga tak mengetahui seluk beluk kota Manhattan. Masa bodoh jika ia disebut overprotektif karena itu kenyataannya.
Fabio mencoba kembali menghubungi ponsel Justin, namun yang dia dapatkan tetap sama, yaitu hanya suara nada sambung operator yang terus terdengar dalam panggilan.
"Bagaimana dengan ciri-ciri wanita itu?" Fabio memasukan kembali ponselnya kedalam saku.
"Maaf tuan, aku juga kurang memperhatikannya karena tadi keadaan sangat ramai."
"Brengsek, apa yang kau tau sebenarnya. Dasar bodoh."
"Maafkan saya tuan, tapi nona itu sempat berpesan jika dia akan membawanya ke hotel sekitar sini."
"Kau ingin membuat ku menjadi orang dungu dengan mengitari hotel satu-persatu?" Fabio mencengkram kuat kerah sang bartender.
"Maafkan saya tuan tapi hanya itu yang nona itu sampaikan."
"Dasar brengsek tak berguna, aku bosan mendengar kata maaf dari mu." Fabio melepaskan cengkraman dengan kasar membuat sang bartender terbatuk. "Mati kau jika aku tak menemukannya."
Sang bartender hanya terus menunduk ketakutan dan Fabio tak peduli, ia segera menyambar kunci mobil dan berlalu keluar dari dalam club. Fabio akan mengitari sekitaran club baru menghampiri beberapa hotel terdekat dari disini.
Beberapa waktu pun berlalu namun semua sia-sia karena Fabio tak juga menemukan keberadaan Justin hingga kini Fabio memilih pulang karena sudah terlampau lelah, apalagi dia juga sempat meminum alkohol tadi.
Sesampainya di mansion, Fabio melihat Mario yang masih menonton televisi sendiri, lampu sudah dimatikan dan hanya cahaya televisi yang menerangi ruangan luas itu. Entahlah, mungkin Mario memang sedang menunggu mereka pulang.
"Kenapa kau pulang sendiri? Kemana Justin?" Mario menoleh.
"Tak tau, tadi dia bersamaku tapi tiba-tiba dia hilang entah kemana."
"Hilang? Bagaimana bisa?" Mario mengeryitkan dahi. "Ayolah, dia bukan bocah ingusan yang mudah hilang dari pantauan orang tua karena setangkai lolipop, right ?"
"Dia menyuruhku masuk lebih dulu dan aku menyetujuinya, aku menunggu berjam-jam diruangan itu, namun ketika aku turun bartender berkata jika dia pergi bersama seorang wanita."
"Wanita? Apa dia telah sembuh?" Mario membelalakan matanya takjub.
"Mana mungkin, siang tadi dia masih menjerit dan gemetaran."
"Lalu?" Mario menaikan sebelah alisnya.
"Entahlah, aku tak mengerti dengan ini." Fabio mendengus.
Mario kembali mendatarkan wajahnya. "Kukira." Kata Mario. "Yasudah, beristirahatlah dulu, jika besok dia tidak kembali, aku akan menyuruh orang ku mencarinya."
"Baiklah." Fabio berlalu meninggalkan Mario sendiri disana dan masuk kedalam kamarnya. Fabio pening bukan main.
Fabio tak tahu saja, jika disana Justin justru sedang kenikmatan karena melakukan pergulatan panas di ranjang.
~○°🦋🦋🦋°○~
TO BE CONTINUE
Jangan lupa vote dan commentnya ya, karena setiap support yang kalian beri sangat berharga 💛
🔥🔥🔥
KAMU SEDANG MEMBACA
FORBIDDEN DESIRE [SELESAI] ✔️
Roman d'amour(21 +) MATURE CONTENT Justin Xander merupakan pewaris tunggal salah satu perusahaan layanan kesehatan terbesar di Amerika, Xanders Medical Corporation. Namun dibalik kesempurnaannya Justin merupakan seorang gynophobia atau phobia terhadap wanita. Na...