Tiffany membulatkan matanya ketika melihat Harin sedang bergandengan tangan dengan seorang pria di mall, pria itu Tiffany akui sangat tampan, sepertinya mereka baru saja berbelanja. Tiffany tersenyum miring memotret moment manis di depannya. Wanita itu akan sangat senang jika Harin dan Jevan bercerai. Tidak sampai disitu Tiffany juga mengikuti mereka berdua yang masuk ke cafe. Tiffany ikut mendirikan diri tak jauh dari mereka."Kau semakin cantik sayang," Tiffany membulatkan matanya dan semakin menajamkan pendengarannya.
"Aku juga tidak menduga kita sampai pada titik ini," ujar Harin lirih.
"Apa pun yang terjadi nanti, kita harus menjaga anak ini bersama," ujaran Harin itu membuat Tiffany berburuk sangka, bahwa anak yang berada di dalam kandungan Harin bukanlah darah daging Jevan.
"Bagaimana dengan rencana kita?"
"Harta Jevan? Mungkin sebentar lagi semuanya akan jadi milikku."
"Kau memang gadis pintar, mari makan pasti bayinya kelaparan," ujar Mark mengusap perut buncit Harin dengan sayang. Tiffany sudah cukup bukti, ia segera pergi untuk memberikan semuanya pada Jevan.
Tercetak raut khawatir dan gelisah di wajah tampan Jevan. Pasalnya sejak pagi tadi istrinya belum juga pulang padahal hari sudah menginjak waktu sore. Apalagi keadaan Harin yang sedang mengandung bulan ke-9 membuat Jevan semakin berpikiran negatif. Ditambah oleh ibunya yang ikut tidak pulang sampai saat ini. Harin dan Tiffany biasanya tidak pernah pulang terlambat. Ditelpon tidak dijawab, di kirim pesan juga tidak dibaca. Sebenarnya kemana dua wanita itu pergi?
Hingga pada akhirnya Jevan merasa sedikit tenang melihat Harin keluar dari mobil seseorang. Jevan sudah siap melayangkan sebuah hantaman, melihat siapa yang mengantarkan istrinya. Ketika Jevan sudah dekat, Harin dengan cepat menghanturkan tubuhnya pada Jevan.
"Aku menemukan Harin terduduk lemah di mall, jadi aku mengantarnya," penjelasan Mark membuat Jevan panik, direngkuhnya tubuh Harin yang melemah, "Apa sekarang ada yang sakit?" Harin hanya menggeleng lesuh.
Jevan menggendong tubuh besar Harin untuk ia bawa masuk ke dalam. Mendudukkan tubuh istrinya itu di sofa, Jevan jatuhkan tubuhnya untuk duduk di karpet. Membuka alas kaki yang digunakan oleh Harin. Perlahan Jevan pijat lembut telapak kaki istrinya. Harin yang merasa tidak enak ketika kakinya menghadap pada sang suami segera menarik kakinya untuk menjauh. Tapi Jevan hanya tersenyum dan menarik kaki itu kembali untuk ia pijat.
"Kaki ini pasti lelah karena menompang anakku."
"Besok kalau ingin kemana-mana bersamaku saja, aku pasti akan menemanimu kemana saja sayang."
"Kau terlihat sibuk," cicit Harin. Jevan hanya tersenyum setia memijat kaki istrinya.
Jevan memandang heran padanya ibunya yang berjalan angkuh ke arah mereka. Mereka dapat mendengar dengan jelas heels Tiffany yang berdentang. Kedua tangannya terlipat di dada menatap intens pada mereka berdua. Tatapan tajam itu selalu menyelimuti maniknya ketika memandang Harin.
"Jevan, istrimu itu hanya menginginkan harta. Mama dengar sendiri ia berbicara dengan seseorang tadi."
"Mama, berhenti menuduh istriku seperti itu. Sekali lagi aku dengar Mama menuduh Harin, aku akan pergi dari sini."
"Jevaan. Mama mendengar pengakuannya langsung."
"Mengaku saja kau sialan!" hardik Tiffany.
"Aku lelah harus dituduh mengais hartamu Jevan. Dulu aku tidak berniat mengambilnya sedikit pun. Tapi sekarang aku akan menguras harta kalian sampai habis."
"Bisakah kau memberikan harta itu untukku Jevan?" Jevan terdiam mendengar permintaan istrinya. Hatinya berat saat ini, melihat keraguan di wajah Jevan Harin berdiri dari duduknya.
"Mari bercerai jika kau tidak ingin memberikannya padaku. Untuk apa aku di sini? Aku tidak dapat harta dan haruskah aku terus menerima semua cacian ibumu itu Jevan?"
"Aku akan kirim surat perceraiannya dengan cepat." Setelah mengucapkan hal itu, Harin beranjak untuk memasuki kamarnya, berniat untuk mengambil semua barangnya dan pergi dari tempat sial ini.
Harin memandang sinis pada Jevan yang terduduk diam di sofa. Tanpa berpamitan Harin menarik koper besarnya menuju pintu. Jevan yang menyadari hal itu segera memeluk istrinya dari belakang. Jevan sandarkan kepalanya di bahu Harin. Sesekali ia usap pinggang Harin yang ia peluk.
"Jangan pergi."
"Lepas Jevan!"
"Mari pergi bersamaku, kita pergi bersama, jangan tinggalkan aku."
"Aku tidak ingin terus dimaki ibumu."
"Tunggu sebentar, aku akan ke atas. Hanya sebentar aku mohon jangan pergi." Sebelum pergi Jevan menuntun Harin untuk duduk di sofa, tatapannya beradu dengan Tiffany yang duduk di depannya. Mereka saling menatap sinis hingga Jevan datang dengan carik kertas di tangannya.
Kertas itu ia letak di atas meja, membuka tutup pulpen yang ia bawa dan menandatangani kerta itu. Jevan berikan kerta itu pada istrinya yang masih tersulut emosi.
"Lihat, aku memberikan semua hartaku padamu. Rumah ini, saham, apartemen, dan semua yang bernama milikku."
"Aku memberikan semuanya, kumohon jangan pergi."
"JEVAN!" sentak Tiffany berdiri dari duduknya, semua harta sudah Tiffany tulis atas nama Jevan. Tidak sepersen pun ada yang ia miliki. Tiffany terlihat sangat marah, Harin tersenyum miring ketika Tiffany gagal merebut kertas yang ia pegang.
"Kau bodoh hanya karna wanita ular sialan ini Jevan." Mendapat cacian dari Ibunya, Jevan hanya diam seribu bahasa lalu beranjak pergi ke kamarnya.
"Hahaha, lihat Nyonya Tiffany? Semuanya menjadi milikku. Bukankah putramu seperti anjing kecil yang sangat penurut?" tawa Harin terdengar sangat senang membuat Tiffany terlihat sangat marah.
"Kau tidak suka padaku? Kau bisa keluar dari rumahku sekarang. Pada dasarnya kau berada di bawah telapak kakiku." Harin melangkah pergi meninggalkan Tiffany yang berteriak. Harin merasa sangat senang, Harin sangat ingin menghubungi Mark sekarang juga. Tapi ia urungkan niatnya ketika melihat Jevan yang terdiam.
Harin lemparkan kertas yang ia bawa tadi di depan Jevan yang terduduk di birai kasur. Jevan memandang istrinya nanar, Jevan gapai tangan Harin tapi wanita itu lebih dulu menepis tangan Jevan.
"Ambil semuanya jika kau tidak rela."
"Aku tidak memikirkan harta itu. Apa aku durhaka sekarang?"
"Sepertinya bercerai denganmu adalah pilihan yang tepat, harusnya sejak dulu aku tidak pernah menikah denganmu. Aku terlalu muda, tapi kau terus memaksaku. Aku tidak bisa tahan lebih lama jika terus seperti ini."
"Apa yang kurang dariku Harin?" lirih Jevan seperti ingin menangis.
"Kau sempurna tapi tidak denganku. Aku bukan orang sempurna yang bisa menerima semua tuduhan dan makian ibumu setiap hari."
Grep!
Jevan memaluk Harin, menenggelamkan wajahnya di bahu istrinya. Meluapkan semua tangisannya di sana. Dapat ia rasakan tangan halus Harin mengusap rambutnya.
"Aku akan memberikan semuanya padamu. Tapi aku mohon, jangan pergi dariku."
KAMU SEDANG MEMBACA
I Just Need Your Love
RomanceJevan menerima semua yang ada pada Harin. Malam itu nyawa ikut terkorban hanya karena perasaan cinta. Nyawa siapa yang hilang? Dan kenapa nyawa itu harus hilang? Apakah kata maaf sudah dihapus dari dunia ini? - "Lee Jevan, kita dari kalangan atas ti...