Harin duduk menikmati hari sore di teras, menanti kepulangan suaminya. Harin bosan sejak pagi tadi ia hanya berbaring di kasur tanpa melakukan apa-apa. Takut kejadian tempo hari terulang kembali, Jevan menyewa seseorang untuk menjaga Harin dari Tiffany. Setidaknya Harin merasa lebih tenang tanpa terusik mertuanya.
Harin berdiri dari duduknya ketika mobil milik suaminya berhenti di depan teras. Harin berdiri siap menyambut sang suami keluar dari mobilnya, dengan memberikan kecupan singkat mungkin pikir Harin. Alis Harin berkedip ke atas memberi isyarat pada Jevan. Untuk apa pria itu menyodorkan buket bunga mawar. Dengan keadaan bingung Harin mengambil alih bunga yang Jevan berikan.
"Dalam rangka apa kau memberiku bunga?"
"Tidak boleh ya aku memberikan bunga untuk istriku sendiri?"
"Terlihat aneh saja, ini bukan hari spesial kurasa."
"9 kuntum mawar yang indah, terima kasih."
"Kau tidak bertanya kenapa aku memberikanmu 9 mawar?"
"Kenapa?" tanya Harin tanpa memandang Jevan, wanita itu asik menatap hadiah indah dari suaminya. Apalagi wangi yang menguar dari bunga.
"Satu bunga untuk satu bulan anakku berkembang di perutmu." Setelah berbisik demikian Jevan memeluk Harin dengan erat. Harin yang masih berusaha mencerna ucapan Jevan seketika tercengang. Dengan segera Harin melepas pelukan mereka. Ia tatap mata Jevan yang berbinar.
"Anak? sejak kapan aku mengandung?"
"Aku tahu sejak di rumah sakit kemarin, kau kelelahan, sekarang kau tidak boleh melakukan apa-apa. Kita harus menjaganya dengan baik."
"Kenapa kau tidak membe...." Ucapan Harin terputus karena dengan tiba-tiba tubuhnya dibawa melayang ke dalam gendongan sang pria. Jevan menggendong mudah dua tubuh itu dengan ala bridal style menuju kamar untuk segera menabur sembilan kuntum bunga mawar sebagai tanda kesenangan mereka selama sembilan bulan ke depan.
Pagi sudah tiba, Harin memasak dengan senang bersama mertuanya. Tidak jarang Harin bisa melihat tatapan tajam seperti mata pisau pada manik Tiffany. Harin memilih tidak memperdulikan orang yang ada di sampingnya saat ini, anggap saja orang itu sudah hilang ditelan bumi.
Tapi untuk saat ini Harin tidak akan mengalah lagi, manik itu kembali sinis padanya, Tiffany tersenyum miring ketika Harin membalas tatapannya dengan tak kalah sinis. Keduanya saling memandang hingga Tiffany tertawa.
"Hahaha apa yang membuat putraku tertarik pada pelacur sepertimu. Ini terlihat lucu." Ujar Tiffany mengusap ujung matanya yang terasa gatal karena tertawa.
"Jika aku serendah itu di matamu, bawa putramu itu ke dokter. Periksa kesehatan otaknya, kejelasan pandangan matanya, atau putramu butuh pergi ke psikolog," cerca Harin.
"Anakku terlalu sempurna untuk bajingan sepertimu. Kau tak lebih dari seonggok sampah sial yang dibuang. Aku ingat, kau memang anak sial yang dibuang."
"Mari kita lihat seberapa banyak sumpah serapah keluar dari mulut brengsekmu nyonya Tiffany."
"Berani sekali kau, aku akan memberitahukan ini pada Jevan!"
Melihat Jevan turun dari lantai atas, Harin menyandarkan tubuhnya di pantry. Tiffany nenyeringit bingung melihat air wajah menantunya yang tiba-tiba menjadi sedih. Tanpa Tiffany sadar Jevan sudah berada di depannya dan menatap lekat pada wajah istrinya.
"Ada apa sayang?"
"Mama membentakku dan mengumpatiku." Tiffany terbelalak mendengar penuturan Harin. Ia sadar tadi sudah memaki menantunya tapi jangan lupa Harin membalas semua umpatan. Mendengar itu Jevan langsung memeluk tubuh istrinya. Mengusap punggung itu dengan sayang. Tanpa diketahui Jevan, di balik punggungnya Harin sedang menyeringai menyatakan ia menang. Wajah Tiffany terlihat sangat marah membuat Harin semakin merasa menang.
Niat mengantar makan siang suaminya tapi lengannya lebih dulu ditarik oleh Mark untuk memasuki sebuah ruangan. Harin yakin itu adalah ruang kerja Mark sendiri. Dengan segala paksaan tubuh kecilnya di tarik untuk duduk di sofa. Melihat bekal makanan yang ada di tangan Harin, Mark langsung menyambar dan memakannya.
"Apa maksudmu bertingkah seperti itu tuan Mark?"
"Masakanmu sangat nikmat cantik," suara Mark bahkan nyaris tak bisa didengar karena pria itu berujar dengan pipi gembung berisi makanan.
"Lancang aku akan...."
"Jevan? Aku rasa aku tertarik mengganggu dirimu nyonya. Kau terlihat sangat cantik." Mark mulai bergeser, mendekati Harin yang duduk tak jauh dari tempat sebelumnya ia berada. Mendudukan diri di sana dan dengan beraninya telapak tangan besar Mark mengusap perut Harin yang sudah membuncit.
"Dia terlihat sangat sehat."
"Aku permisi," dengan nada ketus Nabi beranjak, merampas tempat makanan yang ia bawa tadi dengan kasar. Hentakan-hentakan kakinya membuat Mark semakin menginginkan Harin terus-menerus, wanita itu terlihat sangat manis ketika sedang kesal.
Jevan hanya menatap atensi Harin yang sedang mengganti air vas bunga mawar yang ia berikan. Bunga itu masih terpajang rapi dan indah di kamar mereka. Di atas meja riasnya, dua vas cantik terisi bunga. Vas pertama berisi 8 tangkai bunga mawar dan vas kedua berisini 1 tangkai bunga.
"Tidak terasa sudah 8 bulan bagian diriku di dalam sini." Harin mengusap punggung tangan Jevan yang melingkari pinggangnya dari belakang. Bisikan itu membuat Harin mengingat hal ke belakang, waktu berjalan dengan sangat cepat. Rasanya baru kemarin satu bunga mawar mengisi vas dengan tulisan "Our Lee age."
"Apa tubuhmu berat?"
"Pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Jika kau ingin tau seberapa beratnya anakmu di dalam perutku, ikatkan dua kelapa di perutmu dan bawa itu berjalan mengelilingi rumah," ujar Harin tanpa jeda membuat Jevan hanya bisa terdiam dengan mengusap perut buncit istrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Just Need Your Love
RomantikJevan menerima semua yang ada pada Harin. Malam itu nyawa ikut terkorban hanya karena perasaan cinta. Nyawa siapa yang hilang? Dan kenapa nyawa itu harus hilang? Apakah kata maaf sudah dihapus dari dunia ini? - "Lee Jevan, kita dari kalangan atas ti...