7. Sudut Pandang Lain

89 12 27
                                    

Pagi hari di minimarket selalu sibuk. Sekitar pukul lima sampai delapan truk roti dan buah akan datang untuk mendistribusikan stok baru. Pagi ini lebih sibuk lagi di tempat Ranu bekerja, sebab belum sampai satu jam sepeninggal distributor roti dan buah, datang lagi truk logistik berisi toiletries dan detergen. Maka sudah jadi kewajiban bagi pramuniaga yang berjaga untuk membereskannya.

"Nu, reureuh heula, weh. Dari tadi udah angkat-angkat. Bisa encok dini maneh."

Sebagian pramuniaga yang sudah berjaga sejak pukul sebelas malam tadi mengeluhkan kedatangan truk toiletries yang terlalu pagi. Sedangkan Ranu hanya nyengir sambil lalu menanggapi ocehan rekannya. Tangan pemuda itu sibuk mendorong troli berisi setumpuk kardus detergen yang harus segera disimpan ke gudang. Sekembalinya dari gudang, barulah ia menjawab ucapan si gempal yang tengah meregangkan otot lengan dengan mencolek dadanya.

"Woey mesum!" pekik si gempal yang perutnya menonjol itu, tapi lagi-lagi Ranu hanya cengengesan dan kembali keluar untuk mengambil barang selanjutnya. "Nyengir teros yang lagi kasmaran. Eh! Ngapain maneh?"

Protes si gempal terpotong lantaran Ranu menyerahkan troli penuh padanya lalu mendorong punggungnya sampai memasuki gudang.

"Maneh teh kebanyakan lemak, Del. Liat, tuh Ranu. Dari subuh semangat banget ngangkatin barang." Terdengar suara lain dari Dedi, pramuniaga yang sibuk menghitung stok barang, duduk di antara tumpukan kardus di gudang.

"Ya iya lah. Orang semalem dia pacaran."

Seketika Ranu melotot tak terima, sedangkan Dedi melotot penasaran.

"Pacaran dia. Ketawa-ketawa di teras sama cew- mmmmmph! Mmmmph!"

Belum sempat melanjutkan ledekan, Abdel lebih dulu dipiting dan dibekap oleh Ranu. Dia meronta seperti kecoak keracunan, membuat Dedi terpingkal. Penganiayaan itu baru berhenti saat ponsel Ranu berbunyi.

"Anying sia. Mantan atlet gulat ya?" Pekikan Abdel hanya dibalas juluran lidah oleh Ranu yang lantas sedikit menjauh dari dua rekannya begitu melihat siapa yang menelepon, Nala.

"Mas, Mas bisa pulang sekarang? Bunda, Mas! Udah waktunya kontrol."

Mata Ranu melebar seiring jantungnya tersentak. Sedetik dia menjauhkan ponsel dari telinga untuk melihat kalender, dan kembali dikejutkan dengan seruan adik perempuannya di ujung telepon.

"Mas, dengar aku nggak?! Kalau bisa, cepet pulang, Mas."

Suara Nala yang setengah menangis tak pelak membuat tubuhnya gemetar. Dia segera mengetuk bingkai ponsel tiga kali agar Nala tahu bahwa dirinya merespons. Lantas sambungan telepon ia matikan. Ranu pun berjalan cepat ke arah gudang, mengetuk pintu sedikit keras untuk mendapat perhatian Dedi dan Abdel.

"Aku izin pulang duluan," katanya, masih dengan raut panik.

Bersyukur lantaran diizinkan pulang lima belas menit lebih cepat, Ranu mengenakan hoodie hitamnya lalu bergegas memacu motor secepat yang ia mampu. Soal Bunda, dia bisa melakukan apapun kapan saja, tanpa tapi.

Soal Bunda, Ranu akan melakukan segalanya.

"Matur nuwun, Suroboyo! Terima kasih banyak Jatim Fest! Sampai ketemu lagi!"

Pekikan Rhea menutup penampilannya senja ini. Senyum mengembang sempurna di wajah seiring tangannya melambai, lalu membungkuk sekilas sebelum akhirnya menghilang ditelan tirai gelap pembatas back stage.

"Selamat," bisik Mbak Dita untuk keberhasilan Rhea menyanyikan Kemilau.

"Alhamdulillah, Mbak." Rhea senang untuk keberuntungannya. Ya, dia lebih suka menyebut keberhasilan Kemilau sebagai keberuntungan, sebab dia sendiri masih belum tahu apakah bisa menyanyikannya dengan baik besok.

Silent Descent || Part Of Purple Universe ProjectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang