14. Serba-Serbi di Tengah Hujan

76 7 0
                                    

"Pemainnya satu orang?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Pemainnya satu orang?"

"Tiga."

"Oh...." Rhea manggut-manggut pelan sebelum kembali bersuara, "Ternyata ini baru ya? Aku kira peninggalan sejarah."

"Bukan. Ini simbol saja, karena upacara adat dulu hampir selalu menyertakan alat ini."

Mata Rhea berbinar penuh kekaguman menatap benda koleksi dari Museum Sri Baduga yang membuatnya penasaran sejak lama. Kecapi berbadan kayu jati sepanjang enam meter bernama Naga Maung itu berdiri gagah dalam sepuhan warna emas, menjadi pusat perhatian di antara benda lain dalam ruangan lantai tiga yang menyimpan koleksi etnografika. Desainnya unik, satu sisi berhias patung kepala naga, sisi lain berbentuk kepala harimau. Sedangkan Ranu mengekori Rhea ke sana kemari seperti anak itik, dan dengan senang hati menjawab apapun yang Rhea tanyakan.

"Kamu bisa main itu nggak, Nu?"

Alis Ranu terangkat ketika tiba-tiba Rhea menatapnya sambil menunjuk kecapi di depan mereka, masih dengan binar antusias itu. Ia lantas menggeleng kecil disertai cengiran malu. "Cuma bisa gitar," katanya.

"Tapi kamu main gitarnya keren banget," seru Rhea. "Salah satu yang paling berbakat yang pernah aku temui, sih."

Pujian mendadak itu tak ayal membuat Ranu menggaruk tengkuk sembari mengulum senyum hingga pipinya sedikit menggembung. Mau tak mau, perangainya menyalurkan getaran hangat di relung dada si gadis. Raut malu-malu Ranu itu terlalu berharga sampai Rhea harus mengepalkan tangan erat demi menahan diri untuk tidak mencubit pipinya.

"Terima kasih," kata Ranu.

Sejenak Rhea terdiam sambil menatap kecapi yang sama, lalu terlintas sebuah gagasan di benaknya. "Kamu nggak pingin gitu, Nu, bikin lagu? Biar bakat kamu ada jejaknya. Pasti banyak yang suka, sih."

Tanpa Rhea sadari sentakan kecil menyergap dada Ranu saat tatapan mereka mendadak kembali beradu. Rasanya seperti tertangkap basah mencuri pandang pada gadis itu sehingga batinnya serta merta dicekam malu. Ranu sampai heran, kenapa sulit sekali mengendalikan debaran jantungnya setiap kali berpandangan dengan gadis ini? Padahal saat ini Rhea tampil begitu bersahaja seperti gadis Bandung pada umumnya, tanpa riasan apapun kecuali lipstik berwarna lembut dan kacamata bening berbingkai hitam tipis serta rambut kecokelatan yang diikat asal. Namun kesederhanaan itu justru melambungkan angan liarnya, membayangkan betapa lucunya Rhea ketika bangun tidur atau sedang mengomel sambil memakai daster rumahan seperti yang sering dikenakan Nala.

Sadar, Ranu. Sadar! Kamu itu cuma nge-fans, jangan kelewatan, teriaknya dalam hati.

"Kamu yang lebih mungkin melakukannya. Lagumu bagus dan terkenal."

"Terkenal karena nyanyinya fals," canda Rhea. "Ayo lah, Nu... Rajin-rajin upload cover-an di sosmed. Kalau sudah terkenal, kan kamu bisa bikin lagu sendiri."

Silent Descent || Part Of Purple Universe ProjectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang